TRADISI
PENGANTIN MUBENG GAPURA
DI
DESA LORAM KUDUS
Ahna
Soraya
STAIN Kudus
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui mitos yang terjadi di Desa Loram menyangkut tradisi mubeng gapura,
dan mengetahui bagaimana prosesi dari tradisi kirab pengantin mubeng gapura,
serta untuk mengetahui makna dari tradisi mubeng gapura. Sumber data dalam
penelitian ini adalah diperoleh dari hasil wawancara dengan Juru Pelindung, dan
masyarakat desa Loram yang sudah pernah melaksanakan tradisi mubeng Gapura
Masjid Wali tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi mubeng
gapura masih dipercayai oleh masyarakat Desa Loram hingga saat ini. Dengan
diperkuat adanya cerita tentang kejanggalan yang pada saat itu tidak melakukan
prosesi itu. Dalam prosesi mubeng gapura, tidak boleh mengucapkan kata-kata
kotor selama di area Gapura Masjid Wali (at-Taqwa). Tradisi “pengantin mubeng
gapura” merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga
baru agar selalu dekat dengan Allah. Masjid Jami’ At-Taqwa Desa Loram Kulon
Jati Kudus diyakini masyarakat mampu memberikan kenyamanan maupun kebahagiaan
dalam mengarungi hidup rumah tangga. Maka dari itu, setiap ada orang yang akan
melaksanakan pernikahan, masyarakat setempat mempertahankan tradisi kirab
ngantin atau mengelilingi Gapura Masjid At-Taqwa tersebut bagi pasangan
pegantin baru.
Kata
Kunci: Tradisi, Mubeng, Gapura.
A.
Pendahuluan
Loram Kulon adalah salah satu desa di Kabupaten Kudus yang telah
tampil dalam sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam, dan terdapat
peninggalan sejarah dan purbakala yaitu masjid dan gapura. Indonesia merupakan
negara multikultural yang terdiri atas beragam suku dan bangsa. Beragam suku tersebut
juga membawa beragam budaya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
masyarakat. Begitu pula dengan budaya orang Jawa yang memiliki berbagai tradisi
yang berbeda di setiap daerahnya. Perbedaan tradisi tersebut karena setiap
masyarakat tertentu berbeda dalam hal memaknai suatu hal. Misalnya saja
filosofi bendera kematian yang berbeda di setiap daerah. Di daerah lain ada
yang menggunakan warna kuning, hijau, bahkan hitam. Contoh lain,
pertanda-pertanda yang dimaknai akan terjadi sesuatu.
Salah satu tradisi orang Jawa yang masih dipercayai masyarakat
Loram Kulon Kabupaten Kudus adalah tradisi “Kirab Ngantin”. Tradisi ini
dilakukan masyarakat Loram ketika akan melakukan pernikahan. Setelah
melaksanakan ijab qabul, kedua mempelai diwajibkan untuk mengitari gapura
sebanyak satu kali putaran. Hal ini dipercaya mampu memberikan berkah luar
biasa bagi pengantin baru. Sebaliknya, jika tidak melaksanakan tradisi ini maka
dipercaya akan mengalami kesialan-kesialan dalam rumah tangganya.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan,
dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan
untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang
paling mendasar dari tradisi adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi
dapat punah.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan
turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat dengan anggapan tersebut
bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.[2]
2.
Asal Mula Tradisi Pengantin Mubeng Gapura di Desa Loram
Menurut Afrah Amaluddin, asal mula dari tradisi kirab ngantin tak
lepas dari sejarah berdirinya Masjid Wali. Masjid Jami’ At-Taqwa (Masjid Wali)
Loram Kulon didirikan oleh Tji Wie Gwan seorang yang datang dari Champa. Dia
merupakan murid dari Sunan Kudus yang diperintah untuk menyebarkan agama Islam
di Kudus bagian Selatan. Tji Wie Gwan memilih daerah Loram karena pada waktu
itu masyarakatnya masih banyak yang memeluk agama Hindhu. Siasat yang digunakan
untuk menarik minat masyarakat Loram adalah dengan membangun masjid yang memiliki
gapura menyerupai gapura Hindhu. Lambat laun warga yang penasaran tertarik dan
akhirnya ikut belajar kepada Tji Wie Gwan. Lama kelamaan masyarakat Loram Kulon
banyak yang memeluk agama Islam.[3]
Tji Wie Gwan juga sering mengisi acara di masjid dengan
ajaran-ajaran Islam selesai shalat Jum’at. Menurut Juru Pelindung Masjid
Jami’At-Taqwa, tradisi kirab ngantin ini sudah ada sejak zaman Sultan Hadlirin
masih berada di masjid tersebut bersama santri-santrinya sekitar tahun 1400-an.
Waktu itu, setiap warga yang akan hajatan baik itu acara syukuran atau
pernikahan, selalu meminta berkah dari do’anya Sultan Hadlirin. Karena muridnya
semakin banyak, maka tidak semua warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin.
Akhirnya, sebagai gantinya Sultan Hadlirin meminta kepada warga untuk
mengelilingi Gapura yang ada di depan masjid. Karena dulu belum ada KUA, maka
pada jaman itu di do’akanlah mereka secara bersamaan di masjid. Setelah mereka
melakukan ijaab qabul di masjid, mereka diperintah untuk mengitari Gapura Masjid
sebanyak satu kali putaran. Hal ini dimaksudkan agar pasangan pengantin
tersebut mendapat keberkahan.[4]
Menurut teori Durkheim, berpendapat bahwa masyarakat bukanlah
“sekedar jumlah total individu-individu”, dan bahwa “sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka itu merupakan suatu
realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri”. Misalnya suatu partai
politik atau suatu gereja, di samping terdiri dari anggota-anggota individual
juga memiliki struktur, sejarah, pandangan dunia dan kultur yang terlembaga,
yang tidak dapat diterangkan dalam kerangka psikologi individual. “Kalau kita
berangkat dari individu,” ujar Durkheim, “kita tak akan bisa memahami apa yang
terjadi dalam suatu kelompok” Ia sama sekali menolak gagasan bahwa masyarakat
bermula dari kontrak sosial antar individu, dan menyatakan bahwa “dalam seluruh
proses evolusi sosial belum pernah ada satu masa pun di mana individu-individu
diarahkan oleh pertimbangan yang cermat untuk bergabung ataupun tidak bergabung
ke dalam kehidupan kolektif, atau ke dalam kehidupan kolektif yang satu
daripada yang lain”. Bagi Durkheim, masyarakat prinsip asosiasi adalah yang
utama, dan “karena masyarakat secara tak terbatas mengungguli individu dalam
ruang dan waktu, maka masyarakat berada pada posisi menentukan cara bertindak
dan berpikir terhadapnya”.
Tesis Durkheim dalam The Division of Labor in Society sebenarnya
merupakan pembelaan atas modernitas. Sembari menyanggah pandangan
industrialisasi niscaya mengakibatkan ambruknya tatanan sosial, ia berpendapat
bahwa surutnya otoritas keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi
adanya disintegrasi sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari
suatu bentuk tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan kontrol
komunal yang ketat (solidaritas mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan
ketergantungan mutual antar individu yang relatif otonom (solidaritas organis).
Ia menceritakan “solidaritas mekanis” masyarakat tradisional sebagai
solidaritas yang tergantung pada “keseragaman” anggota-anggotanya, yang keadaan
kehidupan bersamanya diciptakan bagi keyakinan dan nilai-nilai bersama.[5]
3.
Mitos Tradisi Mubeng Gapura di Desa Loram
Desa Loram Kulon merupakan desa tertua yang mempunyai warisan dan
budaya serta sejarah. Dari sudut sejarah Islam, Loram Kulon merupakan desa yang
terdekat dengan Kerajaan Islam yang pertama kali di Pulau Jawa dengan dua tokoh
yang termasuk Wali Songo yaitu Syekh Ja’far Shodiq yang dikenal dengan sebutan
Sunan Kudus dan Raden Umar Sa’id yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan
Muria.
Katanya, akan ada bala (musibah) bagi pasangan pengantin asal Desa
Loram Kulon Kecamatan Jati jika tidak mengitari gapura di depan masjid at-Taqwa
saat prosesi akad nikah.[6]
Sebaliknya, beribu berkah bakal terhampar jika kedua mempelai melakukan tradisi
yang menurut sejumlah penuturan diawali oleh Sultan Hadlirin, menantu Syekh
Ja’far Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus itu. Hal itu diimani/diyakini oleh warga
desa setempat sampai saat ini. Pemandangan itu lumrah terlihat saat pasangan
pengantin usai melakukan prosesi ijab qabul. Entah dilakukan di masjid itu,
atau paska melakukannya di Kantor Urusan Agama (KUA).
“Dulu pernah terjadi peristiwa saat saya masih bujang. Sekitar
pukul 02.00, ada becak yang dikendarai laki-laki dan titumpangi perempuan.
Becak berhenti disebelah timur taman dan keduanya turun dan berjalan menuju
gapura. Akan tetapi yang perempuan berjalan dengan pincang mengitari gapura,”
cerita Afroh Amaluddin, Juru Pelindung, Pengembangan dan Pemanfaatan Gapura
Masjid Loram.
Adanya kejanggalan itu membuat Afrah menghampiri dan bertanya
perihal maksud kedatangan mereka. Mereka pun bercerita. Dulu saat mereka
menikah dan akan menjalani ritual pengantin mubeng gapura, mempelai wanita
bilang “leren mubeng ku lapo tah, kater boto ae tek laren diubengi”
(mengapa harus mengitari gapura, padahal itu cuma susunan batu bata saja).
“Setelah sampai dirumah, mempelai perempuan secara tidak sengaja kakinya
terkilir saat turun dari mobil. Akibatnya kakinya tidak bisa dibuat berjalan
dengan normal.” Kata beliau.[7]
Pihak keluarga sudah berupaya untuk mengobatinya, baik ke tukang
pijat maupun dokter, tapi tidak membuahkan hasil. Jalan terakhir, pihak
keluarga membawa pengantin perempuan ke salah seorang kyai. Kata kyai itu,
kedua mempelai disuruh untuk mubeng gapura. Dan hal ini dilakukan mereka pada
malam hari. Setelah mengitari gapura sesuai dengan petunjuk kyai. “Satu hari
kemudian saya mendapatkan kabar bahwa istrinya sudah sembuh,” kisahnya menurut
Afrah Amaluddin.
Menurutnya, kisah-kisah semacam itu sudah kerap di dengar oleh
masyarakat Loram Kulon dan sekitarnya. Kisah-kisah itu memantapkan kepercayaan
jika gapura itu memang memiliki tuah. “Gapura kuno itu tak jauh beda dengan
arsitektur gapura di Masjid Menara Kudus. Di Kudus memang banyak gapura yang
dibangun dengan arsitektur mirip Pura, tempat sembahyang umat Hindu. Terlepas
dari tafsir apakah arsitektur itu merupakan wujud akulturasi hingga cara merayu
umat Hindu untuk masuk Islam, masyarakat meyakini juga gapura itu bertuah.
Sebab dibangun oleh salah satu wali,” paparnya.[8]
Menurut Likhi Ambarwati, cerita mitos dalam tradisi Gapura Masjid Wali
mucul adanya suatu kepercayaan terhadap perkataan dan sikap Sultan Hadlirin
yang sangat dipercaya oleh masyarakat Loram sehingga terbentuk beberapa tradisi
yang meliputi sega kepel, tradis kirab ngantin, dan tradisi kirab Ampyang
Maulid. Tradisi sega kepel dilaksanakan oleh masyarakat yang mempunyai hajat
seperti membuat rumah, khitanan, nikahan, melamar pekerjaan, dan lain-lain.
Sega kepel adalah nasi yang dibentuk bulat dan dikepel-kepel dilengkapi dengan
lauk bothok tempe, tahu, yang jumlahnya tujuh. Tradisi kirab ngantin
dilaksanakan oleh masyarakat yang sudah menikah dengan cara memutari gapura
sebanyak satu kali mulai pintu selatan gapura sampai dengan pintu utara gapura
dengan membaca do’a “Allahumma Bariklana bil Khoir” yang artinya
Ya Allah, berkahilah kami dengan kebaikan. Sedangkan tradisi kirab Ampyang
Maulid dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal yaitu acara keliling desa
memamerkan gunungan sega kepel yang diusung oleh masyarakat Loram. Setelah itu
para pejabat memasuki pintu tengah gapura dilengkapi dengan do’a dari sesepuh
desa Loram. Kemudian berkumpul di Masjid Wali untuk membaca sholawat dan makan
sega kepel bersama.[9]
Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Loram berupa larangan dan
kepatuhan terhadap tradisi Gapura Masjid Wali. Larangan tersebut antara lain
dilarang mengucap kata-kata kotor pada Gapura Masjid Wali, dilarang memutari
gapura dengan lawan jenis yang belum sah menjadi suami istri, dilarang merubah
jumlah sega kepelan lauk bothok, dilarang membuka dan melewati pintu tengah
gapura, dilarang memelihara jenis kuda plangka yang mirip dengan kuda milik
Sultan Hadlirin. Kepatuhan terhadap tradisi Gapura Masjid Wali antara lain
setiap ada hajat nikah selalu selametan sega kepel, setiap pasangan pengantin
diharuskan memutari Gapura Masjid Wali, setiap tanggal 12 Rabiul Awal
diperingati kirab Ampyang Maulid, dan membuka pintu tengah Gapura Masjid Wali
setahun sekali setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal.[10]
Tanggapan masyarakat Loram terhadap tradisi Gapura Masjid Wali
dibedakan menjadi tiga tanggapan yaitu tanggapan masyarakat terhadap keyakinan,
tanggapan masyarakat terhadap perbedaan profesi, dan tanggapan masyarakat
terhadap perbedaan usia. Berbagai tanggapan masyarakat tersebut dapat disimpulkan
bahwa masyarakat yang asli keturunan Desa Loram diharuskan untuk selalu
melaksanakan tradisi Gapura Masjid Wali yang sudah menjadi adat istiadat di
Desa Loram. Namun, untuk masyarakat pendatang dan sekitar Loram tidak
diharuskan melaksanakan tradisi Gapura Masjid Wali, semua itu tergantung dari
kepercayaan masing-masing. Suatu mitos akan terjadi jika orang tersebut
mempercayainya karena mitos itu sebagai pengawas norma-norma yang berlaku di
masyarakat terutama masyarakat Desa Loram.[11]
4.
Prosesi Pelaksanaan Tradisi Mubeng Gapura
Prosesi “Tradisi Pengantin Mubeng Gapura” diawali dengan
memasuki pintu Gapura sebelah Selatan yang kemudian berjalan dan keluar melalui
pintu sisi Utara. Sebelum keluar, calon pengantin tersebut mengisi buku tamu
dan menyerahkan sumbangan atau mengisi kotak amal jariyah kepada pihak masjid. Dalam
tradisi pengantin mubeng gapura itu, ada beberapa prosesi yang dilaksanakan. Pertama,
rombongan sampai di depan gapura kemudian pasangan pengantin berjalan kaki
menuju pintu sebelah selatan. Sebelum masuk pintu, disarankan untuk berinfaq
dengan memasukkan sejumlah uang dalam kotak amal masjid. Menurut Lis Maysaroh, “Hal
ini bertujuan sebagai titipan amal jariyah di masjid yang dilakukan secara
bersamaan oleh pasangan pengantin,” urainya.[12]
Prosesi kedua, pengantin berjalan menuju pintu sebelah utara
dan keluar menuju depan pintu gapura utama. Sesampainya di sana, pengantin
berdiri sejenak dengan menghadap ke barat (ke arah pintu), dan dipandu
mengucapkan sejumlah do’a. Salah satunya dengan do’a “Bismillahirrahmanirrahim,
Allahumma baariklana bilkhoir.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, Ya Allah berkahilah kami dengan kebaikan). Dalam prosesi
kirab, lanjut Lis Maysaroh, tidak ada ketentuan waktu dan hari pelaksanaannya.
Hanya saja, proses mengitari gapura dilakukan dengan urutan ganjil. Bisa tiga
kali putaran, lima kali, dan ada pula yang tujuh kali putaran.[13]
Juru pelindung, Afrah Amaluddin menjelaskan bahwa tradisi itu
sebenarnya tidak diwajibkan. Hanya saja jika dilakukan maka pasangan pengantin
dapat disaksikan oleh masyarakat bahwa
pasangan pengantin benar-benar sudah menjadi suami istri. Sebab prosesi
itu itak cukup dijalani kedua mempelai. Biasanya iring-iringan masyarakat
sekitar dan ditabuhnya terbang (alat rebana) menyertai laku itu. Itu dilakukan
sebagai cara mengumumkan bahwa kedua mempelai ini telah resmi menjadi sepasang
suami istri. Hal ini bisa menghindarkan dari fitnah. Selain juga memperoleh
do’a dari orang-orang yang menyaksikan.[14]
“Hal ini pula yang diajarkan Sultan Hadlirin. Menurut cerita, dulu
setelah menikahkan kedua mempelai, beliau mengajak keduanya mengitari gapura
yang ada di depan masjid. Dengan tujuan agar dapat disaksikan oleh masyarakat sekitar
masjid bahwa pasangan pengantin sudah sah menjadi suami istri. Serta agar
mendapatkan doa dari masyarakat dan orang yang berada di masjid,” katanya.
Mengingat adanya keyakinan gapura itu bertuah, maka tradisi ini
tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Loram Kulon saja. Namun ada juga
pasangan pengantin yang sama sekali tidak ada ikatan dengan masyarakat Loram
yang juga melakukannya. Hanya saja, lanjut Afrah, ada satu ritual penting
lainnya. Apabila yang menikah merupakan warga asli Desa Loram dan masih
mempunyai garis keturunan Hindu, sepekan sebelum dilaksanakan prosesi
pernikahan, biasanya mereka membagikan nasi kepel (nasi yang dibungkus dengan
daun jati) kepada orang-orang yang sedang ada di dalam masjid.
“Tujuannya agar nantinya ketika akad diberi kelancaran oleh Allah
SWT. Di sinilah letak dimensi sosial dan keagamaan dari tradisi ini begitu
terasa. Selain mengajarkan untuk gemar bershodaqoh, juga untuk mengakrabkan
pengantin dengan masjid dan menghormati masjid. Sebab disyaratkan pula pasangan
pengantin harus berkata sopan di area itu. Biasanya akad nikah dan prosesi
mubeng masjid ini lumrah dilakukan pada bulan Syawal, Dzulhijjah, Rajab, dan
Ba’da Maulud. Tetapi paling banyak terjadi pada bulan Syawal dan Dzulhijjah. Di
bulan itu, bisa lebih dari 20 pasangan pengantin yang melakukan akad nikah di
masjid, sekaligus melakukan ritual sakral itu,” tegasnya.[15]
5.
Makna dari Tradisi Mubeng Gapura
Ketika penyebaran agama Islam, salah satu warga ada yang ingin
bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga diapun berpesan kepada
warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus.
Bilangan 7 ini maksudnya dalam bahasa Jawa yaitu Pitu, yang mempunyai arti
Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani
hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut
tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.[16]
Secara tersirat makna dari
tradisi kirab ngantin ini adalah :
1.
Sebagai
bentuk rasa Syukur kepada Allah SWT
2.
Memohonkan
do’a kepada keluarga dan masyarakat agar mempelai mendapat keberkahan
3.
Mengenalkan
kepada masyarakat jika mereka telah menikah dan memohon do’anya
4.
Tradisi
ini juga sebagai upaya nguri-uri tradisi pendahulu
5.
Bisa
sebagai sarana sedekah dengan nasi kepel dan lauk bothok
6.
Dipercaya
jika tidak melakukan tradisi ini akan mendapat bala atau terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan dalam rumah tangga.
C.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap tradisi kirab ngantin dapat
disimpulkan bahwa menjadi tradisi yang memiliki banyak makna yang luhur.
Misalnya makna rasa syukur, sedekah, do’a, dsb. Tradisi kirab ngantin merupakan
upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat
dengan dengan Allah. Desa Loram Kulon merupakan desa tertua yang mempunyai
warisan budaya dan sejarah.
Desa Loram Kulon disebut sebagai desa bersejarah karena banyak
peninggalan sejarah masa lampau. Tradisi kirab ngantin ini digunakan sebagai
sarana untuk memohon do’a agar pernikahan mempelai mendapat keberkahan.
Sedangakan masyarakat juga masih meyakini bahwa jika tidak melaksanakan tradisi
tersebut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga
mempelai. Bagaimanapun, tradisi kirab ngantin ini merupakan tradisi yang harus
tetap dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bpk. Afrah Amaluddin, Wawancara, Pada Hari Rabu, 30 November
2016, Pukul: 13.21 WIB
Ibu Lis Maysaroh, Wawancara, Pada Hari Kamis, 31 November
2016, Pukul: 08.39 WIB
Departement
Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007
Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
http://nailuszaman.blogspot.co.id/2016/04/makalah-semester-1-tradisi-dan-budaya.html?m=1
Lampiran-Lampiran
A.
Fieldnote
Pada hari Rabu, tanggal 30 November 2016, saya observasi ke Desa
Loram Kulon Jati Kudus. Dalam penelitian saya, akan membahas tentang tradisi
kirab pengantin mubeng gapura yang ada di desa tersebut. Tradisi mubeng ngantin
hingga saat ini masih dipercayai oleh masyarakat Loram sampai saat ini. Tempat
pertama yang saya datangi adalah Masjid Wali yang didepan masjid tersebut
terdapat bangunan gapura mirip gapura yang ada di Menara Kudus. Sesampainya di
masjid tersebut, kemudian saya masuk untuk sholat dzuhur terlebih dahulu.
Setelah shalat dzuhur, saya mendatangi seseorang bapak-bapak yang sedang duduk
di masjid. Seseorang tersebut merupakan penjaga masjid. Saat saya akan
mewawancarainya, bapak tersebut menolak dan dia tidak mengetahui dengan begitu
dalamnya tentang tradisi yang ada di Desa Loram. Kemudian dia memberi saran dan
menunjukkan kepada saya agar datang ke rumah Juru Pelindung dari Masjid Wali
dan Pengembangan Tradisi yang ada di Loram tersebut. Juru Pelindung dan
Pengembangan Masjid Wali tersebut adalah Bapak Afrah Amaluddin. Setelah sampai
di rumah pak Afrah Amaluddin, saya wawancara tentang tradisi kirab ngantin
mubeng gapura. Yang dimulai dari bagaimana asal mulanya dari tradisi tersebut,
mengapa masyarakat masih meyakininya, dan bagaimana prosesi dari tradisi mubeng
gapura, serta makna dari tradisi itu.
Menurut Afrah Amaluddin, asal mula dari tradisi kirab ngantin tak
lepas dari sejarah berdirinya Masjid Wali. Masjid Jami’ At-Taqwa (Masjid Wali)
Loram Kulon didirikan oleh Tji Wie Gwan seorang yang datang dari Champa. Dia
merupakan murid dari Sunan Kudus yang diperintah untuk menyebarkan agama Islam
di Kudus bagian Selatan. Tji Wie Gwan memilih daerah Loram karena pada waktu
itu masyarakatnya masih banyak yang memeluk agama Hindhu. Siasat yang digunakan
untuk menarik minat masyarakat Loram adalah dengan membangun masjid yang
memiliki gapura menyerupai gapura Hindhu. Lambat laun warga yang penasaran
tertarik dan akhirnya ikut belajar kepada Tji Wie Gwan. Lama kelamaan
masyarakat Loram Kulon banyak yang memeluk agama Islam.
Menurut Juru Pelindung Masjid Jami’At-Taqwa, tradisi kirab ngantin
ini sudah ada sejak zaman Sultan Hadlirin masih berada di masjid tersebut
bersama santri-santrinya sekitar tahun 1400-an. Waktu itu, setiap warga yang
akan hajatan baik itu acara syukuran atau pernikahan, selalu meminta berkah
dari do’anya Sultan Hadlirin. Karena muridnya semakin banyak, maka tidak semua
warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin. Akhirnya, sebagai gantinya Sultan
Hadlirin meminta kepada warga untuk mengelilingi Gapura yang ada di depan
masjid. Karena dulu belum ada KUA, maka pada jaman itu di do’akanlah mereka
secara bersamaan di masjid. Setelah mereka melakukan ijaab qabul di masjid,
mereka diperintah untuk mengitari Gapura Masjid sebanyak satu kali putaran. Hal
ini dimaksudkan agar pasangan pengantin tersebut mendapat keberkahan.
Secara tersirat makna dari tradisi kirab ngantin ini adalah Sebagai
bentuk rasa Syukur kepada Allah SWT, memohonkan do’a kepada keluarga dan
masyarakat agar mempelai mendapat keberkahan, mengenalkan kepada masyarakat
jika mereka telah menikah dan memohon do’anya. Tradisi ini juga sebagai upaya
nguri-uri tradisi pendahulu, dan bisa sebagai sarana sedekah dengan nasi kepel
dan lauk bothok. Dipercaya jika tidak melakukan tradisi ini akan mendapat bala
atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga.
Kemudian pada hari Kamis, 31 November 2016, saya melanjutkan
mencari data tentang penelitian ini. Untuk sebagai tambahan data observasi,
saya mendatangi rumah ibu Lis Maysaroh salah satu warga Desa Loram yang dulunya
sudah pernah melakukan prosesi mubeng gapura. Adapun dalam prosesi “pengantin
mubeng gapura,” diawali dengan memasuki pintu Gapura sebelah Selatan yang
kemudian berjalan dan keluar melalui pintu sisi Utara. Sebelum keluar, calon
pengantin tersebut mengisi buku tamu dan menyerahkan sumbangan atau mengisi
kotak amal jariyah kepada pihak masjid. Dalam tradisi kirab ngantin itu, ada
beberapa prosesi yang dilaksanakan. Pertama, rombongan pengantin sampai di
depan Gapura kemudian pasangan pengantin berjalan kaki menuju pintu sebelah
Selatan. Sebelum masuk pintu, disarankan untuk berinfaq dengan memasukkan
sejumlah uang di dalam kotak amal masjid. Hal ini bertujuan sebagai titipan
amal jariyah di masjid yang dilakukan secara bersamaan dengan pasangan
pengantin.
Prosesi kedua, pengantin berjalan menuju pintu sebelah Utara dan
keluar menuju depan pintu Gapura utama. Sesampainya disana, pengantin berdiri
sejenak dengan menghadap ke Barat (arah pintu) dan dipandu mengucapkan do’a.
Salah satunya do’a yang berbunyi “Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma bariklana
bilkhoir” (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah
berkahilah kami dengan kebaikan). Dalam prosesi kirab ngantin tersebut, tidak
ada ketentuan waktu dan hari pelaksanannya. Hanya saja, proses mengitari Gapura
dilakukan dengan bilangan ganjil. Bisa tiga kali putaran, lima kali putaran,
dan ada pula yang mengitari sebanyak tujuh kali.
B.
Dokumentasi
Gb. I
Gb. II
Gb. III
Gb. I :
Gapura yang di itari oleh pasangan pengantin saat prosesi dari
tradisi “mubeng gapura” yang
terletak di depan Masjid Wali (Masjid at-Taqwa) Loram, Jati Kudus.
Gb. II : Wawancara
dengan Ibu Lis Maysaroh, pada hari Kamis, 31 November 2016, pukul: 08.39 WIB. Beliau yang sudah pernah
melakukan tradisi mubeng gapura saat menikah.
Gb. III : Wawancara
dengan Bpk. Afrah Amaluddin, pada hari Rabu, 30 November 2016, Pukul: 13.21
WIB. Beliau adalah Juru Pelindung Majid Wali dan Pengembangan dari tradisi “pengantin
mubeng gapura,” Loram Kulon, Jati Kudus.
[1]
http://nailuszaman.blogspot.co.id/2016/04/makalah-semester-1-tradisi-dan-budaya.html?m=1
[2] Departement
Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007, hlm. 1208
[5] Peter
Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm.
105-106
[9] http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sutasoma/article/view/321