Senin, 05 Desember 2016

Tradisi Pengantin Mubeng Gapura di Desa Loram, Jati Kudus

TRADISI PENGANTIN MUBENG GAPURA
DI DESA LORAM KUDUS

Ahna Soraya
STAIN Kudus

Abstrak
  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mitos yang terjadi di Desa Loram menyangkut tradisi mubeng gapura, dan mengetahui bagaimana prosesi dari tradisi kirab pengantin mubeng gapura, serta untuk mengetahui makna dari tradisi mubeng gapura. Sumber data dalam penelitian ini adalah diperoleh dari hasil wawancara dengan Juru Pelindung, dan masyarakat desa Loram yang sudah pernah melaksanakan tradisi mubeng Gapura Masjid Wali tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi mubeng gapura masih dipercayai oleh masyarakat Desa Loram hingga saat ini. Dengan diperkuat adanya cerita tentang kejanggalan yang pada saat itu tidak melakukan prosesi itu. Dalam prosesi mubeng gapura, tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor selama di area Gapura Masjid Wali (at-Taqwa). Tradisi “pengantin mubeng gapura” merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Masjid Jami’ At-Taqwa Desa Loram Kulon Jati Kudus diyakini masyarakat mampu memberikan kenyamanan maupun kebahagiaan dalam mengarungi hidup rumah tangga. Maka dari itu, setiap ada orang yang akan melaksanakan pernikahan, masyarakat setempat mempertahankan tradisi kirab ngantin atau mengelilingi Gapura Masjid At-Taqwa tersebut bagi pasangan pegantin baru.
Kata Kunci: Tradisi, Mubeng, Gapura.

A.    Pendahuluan
Loram Kulon adalah salah satu desa di Kabupaten Kudus yang telah tampil dalam sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam, dan terdapat peninggalan sejarah dan purbakala yaitu masjid dan gapura. Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri atas beragam suku dan bangsa. Beragam suku tersebut juga membawa beragam budaya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Begitu pula dengan budaya orang Jawa yang memiliki berbagai tradisi yang berbeda di setiap daerahnya. Perbedaan tradisi tersebut karena setiap masyarakat tertentu berbeda dalam hal memaknai suatu hal. Misalnya saja filosofi bendera kematian yang berbeda di setiap daerah. Di daerah lain ada yang menggunakan warna kuning, hijau, bahkan hitam. Contoh lain, pertanda-pertanda yang dimaknai akan terjadi sesuatu.
Salah satu tradisi orang Jawa yang masih dipercayai masyarakat Loram Kulon Kabupaten Kudus adalah tradisi “Kirab Ngantin”. Tradisi ini dilakukan masyarakat Loram ketika akan melakukan pernikahan. Setelah melaksanakan ijab qabul, kedua mempelai diwajibkan untuk mengitari gapura sebanyak satu kali putaran. Hal ini dipercaya mampu memberikan berkah luar biasa bagi pengantin baru. Sebaliknya, jika tidak melaksanakan tradisi ini maka dipercaya akan mengalami kesialan-kesialan dalam rumah tangganya.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.[2]

2.      Asal Mula Tradisi Pengantin Mubeng Gapura di Desa Loram
Menurut Afrah Amaluddin, asal mula dari tradisi kirab ngantin tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Wali. Masjid Jami’ At-Taqwa (Masjid Wali) Loram Kulon didirikan oleh Tji Wie Gwan seorang yang datang dari Champa. Dia merupakan murid dari Sunan Kudus yang diperintah untuk menyebarkan agama Islam di Kudus bagian Selatan. Tji Wie Gwan memilih daerah Loram karena pada waktu itu masyarakatnya masih banyak yang memeluk agama Hindhu. Siasat yang digunakan untuk menarik minat masyarakat Loram adalah dengan membangun masjid yang memiliki gapura menyerupai gapura Hindhu. Lambat laun warga yang penasaran tertarik dan akhirnya ikut belajar kepada Tji Wie Gwan. Lama kelamaan masyarakat Loram Kulon banyak yang memeluk agama Islam.[3]
Tji Wie Gwan juga sering mengisi acara di masjid dengan ajaran-ajaran Islam selesai shalat Jum’at. Menurut Juru Pelindung Masjid Jami’At-Taqwa, tradisi kirab ngantin ini sudah ada sejak zaman Sultan Hadlirin masih berada di masjid tersebut bersama santri-santrinya sekitar tahun 1400-an. Waktu itu, setiap warga yang akan hajatan baik itu acara syukuran atau pernikahan, selalu meminta berkah dari do’anya Sultan Hadlirin. Karena muridnya semakin banyak, maka tidak semua warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin. Akhirnya, sebagai gantinya Sultan Hadlirin meminta kepada warga untuk mengelilingi Gapura yang ada di depan masjid. Karena dulu belum ada KUA, maka pada jaman itu di do’akanlah mereka secara bersamaan di masjid. Setelah mereka melakukan ijaab qabul di masjid, mereka diperintah untuk mengitari Gapura Masjid sebanyak satu kali putaran. Hal ini dimaksudkan agar pasangan pengantin tersebut mendapat keberkahan.[4]
Menurut teori Durkheim, berpendapat bahwa masyarakat bukanlah “sekedar jumlah total individu-individu”, dan bahwa “sistem yang dibentuk  oleh bersatunya mereka itu merupakan suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri”. Misalnya suatu partai politik atau suatu gereja, di samping terdiri dari anggota-anggota individual juga memiliki struktur, sejarah, pandangan dunia dan kultur yang terlembaga, yang tidak dapat diterangkan dalam kerangka psikologi individual. “Kalau kita berangkat dari individu,” ujar Durkheim, “kita tak akan bisa memahami apa yang terjadi dalam suatu kelompok” Ia sama sekali menolak gagasan bahwa masyarakat bermula dari kontrak sosial antar individu, dan menyatakan bahwa “dalam seluruh proses evolusi sosial belum pernah ada satu masa pun di mana individu-individu diarahkan oleh pertimbangan yang cermat untuk bergabung ataupun tidak bergabung ke dalam kehidupan kolektif, atau ke dalam kehidupan kolektif yang satu daripada yang lain”. Bagi Durkheim, masyarakat prinsip asosiasi adalah yang utama, dan “karena masyarakat secara tak terbatas mengungguli individu dalam ruang dan waktu, maka masyarakat berada pada posisi menentukan cara bertindak dan berpikir terhadapnya”.
Tesis Durkheim dalam The Division of Labor in Society sebenarnya merupakan pembelaan atas modernitas. Sembari menyanggah pandangan industrialisasi niscaya mengakibatkan ambruknya tatanan sosial, ia berpendapat bahwa surutnya otoritas keyakinan-keyakinan moral tradisional bukanlah indikasi adanya disintegrasi sosial melainkan perubahan sosial, pergeseran historis dari suatu bentuk tatanan sosial yang didasarkan pada keyakinan bersama dan kontrol komunal yang ketat (solidaritas mekanis) menuju tatanan yang berdasarkan ketergantungan mutual antar individu yang relatif otonom (solidaritas organis). Ia menceritakan “solidaritas mekanis” masyarakat tradisional sebagai solidaritas yang tergantung pada “keseragaman” anggota-anggotanya, yang keadaan kehidupan bersamanya diciptakan bagi keyakinan dan nilai-nilai bersama.[5]

3.      Mitos Tradisi Mubeng Gapura di Desa Loram
Desa Loram Kulon merupakan desa tertua yang mempunyai warisan dan budaya serta sejarah. Dari sudut sejarah Islam, Loram Kulon merupakan desa yang terdekat dengan Kerajaan Islam yang pertama kali di Pulau Jawa dengan dua tokoh yang termasuk Wali Songo yaitu Syekh Ja’far Shodiq yang dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Raden Umar Sa’id yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Muria.
Katanya, akan ada bala (musibah) bagi pasangan pengantin asal Desa Loram Kulon Kecamatan Jati jika tidak mengitari gapura di depan masjid at-Taqwa saat prosesi akad nikah.[6] Sebaliknya, beribu berkah bakal terhampar jika kedua mempelai melakukan tradisi yang menurut sejumlah penuturan diawali oleh Sultan Hadlirin, menantu Syekh Ja’far Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus itu. Hal itu diimani/diyakini oleh warga desa setempat sampai saat ini. Pemandangan itu lumrah terlihat saat pasangan pengantin usai melakukan prosesi ijab qabul. Entah dilakukan di masjid itu, atau paska melakukannya di Kantor Urusan Agama (KUA).
“Dulu pernah terjadi peristiwa saat saya masih bujang. Sekitar pukul 02.00, ada becak yang dikendarai laki-laki dan titumpangi perempuan. Becak berhenti disebelah timur taman dan keduanya turun dan berjalan menuju gapura. Akan tetapi yang perempuan berjalan dengan pincang mengitari gapura,” cerita Afroh Amaluddin, Juru Pelindung, Pengembangan dan Pemanfaatan Gapura Masjid Loram.
Adanya kejanggalan itu membuat Afrah menghampiri dan bertanya perihal maksud kedatangan mereka. Mereka pun bercerita. Dulu saat mereka menikah dan akan menjalani ritual pengantin mubeng gapura, mempelai wanita bilang “leren mubeng ku lapo tah, kater boto ae tek laren diubengi” (mengapa harus mengitari gapura, padahal itu cuma susunan batu bata saja). “Setelah sampai dirumah, mempelai perempuan secara tidak sengaja kakinya terkilir saat turun dari mobil. Akibatnya kakinya tidak bisa dibuat berjalan dengan normal.” Kata beliau.[7]
Pihak keluarga sudah berupaya untuk mengobatinya, baik ke tukang pijat maupun dokter, tapi tidak membuahkan hasil. Jalan terakhir, pihak keluarga membawa pengantin perempuan ke salah seorang kyai. Kata kyai itu, kedua mempelai disuruh untuk mubeng gapura. Dan hal ini dilakukan mereka pada malam hari. Setelah mengitari gapura sesuai dengan petunjuk kyai. “Satu hari kemudian saya mendapatkan kabar bahwa istrinya sudah sembuh,” kisahnya menurut Afrah Amaluddin.
Menurutnya, kisah-kisah semacam itu sudah kerap di dengar oleh masyarakat Loram Kulon dan sekitarnya. Kisah-kisah itu memantapkan kepercayaan jika gapura itu memang memiliki tuah. “Gapura kuno itu tak jauh beda dengan arsitektur gapura di Masjid Menara Kudus. Di Kudus memang banyak gapura yang dibangun dengan arsitektur mirip Pura, tempat sembahyang umat Hindu. Terlepas dari tafsir apakah arsitektur itu merupakan wujud akulturasi hingga cara merayu umat Hindu untuk masuk Islam, masyarakat meyakini juga gapura itu bertuah. Sebab dibangun oleh salah satu wali,” paparnya.[8]
Menurut Likhi Ambarwati, cerita mitos dalam tradisi Gapura Masjid Wali mucul adanya suatu kepercayaan terhadap perkataan dan sikap Sultan Hadlirin yang sangat dipercaya oleh masyarakat Loram sehingga terbentuk beberapa tradisi yang meliputi sega kepel, tradis kirab ngantin, dan tradisi kirab Ampyang Maulid. Tradisi sega kepel dilaksanakan oleh masyarakat yang mempunyai hajat seperti membuat rumah, khitanan, nikahan, melamar pekerjaan, dan lain-lain. Sega kepel adalah nasi yang dibentuk bulat dan dikepel-kepel dilengkapi dengan lauk bothok tempe, tahu, yang jumlahnya tujuh. Tradisi kirab ngantin dilaksanakan oleh masyarakat yang sudah menikah dengan cara memutari gapura sebanyak satu kali mulai pintu selatan gapura sampai dengan pintu utara gapura dengan membaca do’a “Allahumma Bariklana bil Khoir” yang artinya Ya Allah, berkahilah kami dengan kebaikan. Sedangkan tradisi kirab Ampyang Maulid dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal yaitu acara keliling desa memamerkan gunungan sega kepel yang diusung oleh masyarakat Loram. Setelah itu para pejabat memasuki pintu tengah gapura dilengkapi dengan do’a dari sesepuh desa Loram. Kemudian berkumpul di Masjid Wali untuk membaca sholawat dan makan sega kepel bersama.[9]
Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Loram berupa larangan dan kepatuhan terhadap tradisi Gapura Masjid Wali. Larangan tersebut antara lain dilarang mengucap kata-kata kotor pada Gapura Masjid Wali, dilarang memutari gapura dengan lawan jenis yang belum sah menjadi suami istri, dilarang merubah jumlah sega kepelan lauk bothok, dilarang membuka dan melewati pintu tengah gapura, dilarang memelihara jenis kuda plangka yang mirip dengan kuda milik Sultan Hadlirin. Kepatuhan terhadap tradisi Gapura Masjid Wali antara lain setiap ada hajat nikah selalu selametan sega kepel, setiap pasangan pengantin diharuskan memutari Gapura Masjid Wali, setiap tanggal 12 Rabiul Awal diperingati kirab Ampyang Maulid, dan membuka pintu tengah Gapura Masjid Wali setahun sekali setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal.[10]
Tanggapan masyarakat Loram terhadap tradisi Gapura Masjid Wali dibedakan menjadi tiga tanggapan yaitu tanggapan masyarakat terhadap keyakinan, tanggapan masyarakat terhadap perbedaan profesi, dan tanggapan masyarakat terhadap perbedaan usia. Berbagai tanggapan masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang asli keturunan Desa Loram diharuskan untuk selalu melaksanakan tradisi Gapura Masjid Wali yang sudah menjadi adat istiadat di Desa Loram. Namun, untuk masyarakat pendatang dan sekitar Loram tidak diharuskan melaksanakan tradisi Gapura Masjid Wali, semua itu tergantung dari kepercayaan masing-masing. Suatu mitos akan terjadi jika orang tersebut mempercayainya karena mitos itu sebagai pengawas norma-norma yang berlaku di masyarakat terutama masyarakat Desa Loram.[11]


4.    Prosesi Pelaksanaan Tradisi Mubeng Gapura
Prosesi “Tradisi Pengantin Mubeng Gapura” diawali dengan memasuki pintu Gapura sebelah Selatan yang kemudian berjalan dan keluar melalui pintu sisi Utara. Sebelum keluar, calon pengantin tersebut mengisi buku tamu dan menyerahkan sumbangan atau mengisi kotak amal jariyah kepada pihak masjid. Dalam tradisi pengantin mubeng gapura itu, ada beberapa prosesi yang dilaksanakan. Pertama, rombongan sampai di depan gapura kemudian pasangan pengantin berjalan kaki menuju pintu sebelah selatan. Sebelum masuk pintu, disarankan untuk berinfaq dengan memasukkan sejumlah uang dalam kotak amal masjid. Menurut Lis Maysaroh, “Hal ini bertujuan sebagai titipan amal jariyah di masjid yang dilakukan secara bersamaan oleh pasangan pengantin,” urainya.[12]
Prosesi kedua, pengantin berjalan menuju pintu sebelah utara dan keluar menuju depan pintu gapura utama. Sesampainya di sana, pengantin berdiri sejenak dengan menghadap ke barat (ke arah pintu), dan dipandu mengucapkan sejumlah do’a. Salah satunya dengan do’a “Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma baariklana bilkhoir.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah berkahilah kami dengan kebaikan). Dalam prosesi kirab, lanjut Lis Maysaroh, tidak ada ketentuan waktu dan hari pelaksanaannya. Hanya saja, proses mengitari gapura dilakukan dengan urutan ganjil. Bisa tiga kali putaran, lima kali, dan ada pula yang tujuh kali putaran.[13]
Juru pelindung, Afrah Amaluddin menjelaskan bahwa tradisi itu sebenarnya tidak diwajibkan. Hanya saja jika dilakukan maka pasangan pengantin dapat disaksikan oleh masyarakat bahwa  pasangan pengantin benar-benar sudah menjadi suami istri. Sebab prosesi itu itak cukup dijalani kedua mempelai. Biasanya iring-iringan masyarakat sekitar dan ditabuhnya terbang (alat rebana) menyertai laku itu. Itu dilakukan sebagai cara mengumumkan bahwa kedua mempelai ini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Hal ini bisa menghindarkan dari fitnah. Selain juga memperoleh do’a dari orang-orang yang menyaksikan.[14]
“Hal ini pula yang diajarkan Sultan Hadlirin. Menurut cerita, dulu setelah menikahkan kedua mempelai, beliau mengajak keduanya mengitari gapura yang ada di depan masjid. Dengan tujuan agar dapat disaksikan oleh masyarakat sekitar masjid bahwa pasangan pengantin sudah sah menjadi suami istri. Serta agar mendapatkan doa dari masyarakat dan orang yang berada di masjid,” katanya.
Mengingat adanya keyakinan gapura itu bertuah, maka tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Loram Kulon saja. Namun ada juga pasangan pengantin yang sama sekali tidak ada ikatan dengan masyarakat Loram yang juga melakukannya. Hanya saja, lanjut Afrah, ada satu ritual penting lainnya. Apabila yang menikah merupakan warga asli Desa Loram dan masih mempunyai garis keturunan Hindu, sepekan sebelum dilaksanakan prosesi pernikahan, biasanya mereka membagikan nasi kepel (nasi yang dibungkus dengan daun jati) kepada orang-orang yang sedang ada di dalam masjid.
“Tujuannya agar nantinya ketika akad diberi kelancaran oleh Allah SWT. Di sinilah letak dimensi sosial dan keagamaan dari tradisi ini begitu terasa. Selain mengajarkan untuk gemar bershodaqoh, juga untuk mengakrabkan pengantin dengan masjid dan menghormati masjid. Sebab disyaratkan pula pasangan pengantin harus berkata sopan di area itu. Biasanya akad nikah dan prosesi mubeng masjid ini lumrah dilakukan pada bulan Syawal, Dzulhijjah, Rajab, dan Ba’da Maulud. Tetapi paling banyak terjadi pada bulan Syawal dan Dzulhijjah. Di bulan itu, bisa lebih dari 20 pasangan pengantin yang melakukan akad nikah di masjid, sekaligus melakukan ritual sakral itu,” tegasnya.[15]

5.      Makna dari Tradisi Mubeng Gapura
Ketika penyebaran agama Islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga diapun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. Bilangan 7 ini maksudnya dalam bahasa Jawa yaitu Pitu, yang mempunyai arti Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.[16]
   Secara tersirat makna dari tradisi kirab ngantin ini adalah :
1.      Sebagai bentuk rasa Syukur kepada Allah SWT
2.       Memohonkan do’a kepada keluarga dan masyarakat agar mempelai mendapat keberkahan
3.       Mengenalkan kepada masyarakat jika mereka telah menikah dan memohon do’anya
4.       Tradisi ini juga sebagai upaya nguri-uri tradisi pendahulu
5.       Bisa sebagai sarana sedekah dengan nasi kepel dan lauk bothok
6.       Dipercaya jika tidak melakukan tradisi ini akan mendapat bala atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga.

C.    Simpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap tradisi kirab ngantin dapat disimpulkan bahwa menjadi tradisi yang memiliki banyak makna yang luhur. Misalnya makna rasa syukur, sedekah, do’a, dsb. Tradisi kirab ngantin merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan dengan Allah. Desa Loram Kulon merupakan desa tertua yang mempunyai warisan budaya dan sejarah.
Desa Loram Kulon disebut sebagai desa bersejarah karena banyak peninggalan sejarah masa lampau. Tradisi kirab ngantin ini digunakan sebagai sarana untuk memohon do’a agar pernikahan mempelai mendapat keberkahan. Sedangakan masyarakat juga masih meyakini bahwa jika tidak melaksanakan tradisi tersebut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga mempelai. Bagaimanapun, tradisi kirab ngantin ini merupakan tradisi yang harus tetap dilestarikan.


  

DAFTAR PUSTAKA
Bpk. Afrah Amaluddin, Wawancara, Pada Hari Rabu, 30 November 2016, Pukul: 13.21 WIB
Ibu Lis Maysaroh, Wawancara, Pada Hari Kamis, 31 November 2016, Pukul: 08.39 WIB
Departement Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
http://nailuszaman.blogspot.co.id/2016/04/makalah-semester-1-tradisi-dan-budaya.html?m=1




Lampiran-Lampiran
A.    Fieldnote
Pada hari Rabu, tanggal 30 November 2016, saya observasi ke Desa Loram Kulon Jati Kudus. Dalam penelitian saya, akan membahas tentang tradisi kirab pengantin mubeng gapura yang ada di desa tersebut. Tradisi mubeng ngantin hingga saat ini masih dipercayai oleh masyarakat Loram sampai saat ini. Tempat pertama yang saya datangi adalah Masjid Wali yang didepan masjid tersebut terdapat bangunan gapura mirip gapura yang ada di Menara Kudus. Sesampainya di masjid tersebut, kemudian saya masuk untuk sholat dzuhur terlebih dahulu. Setelah shalat dzuhur, saya mendatangi seseorang bapak-bapak yang sedang duduk di masjid. Seseorang tersebut merupakan penjaga masjid. Saat saya akan mewawancarainya, bapak tersebut menolak dan dia tidak mengetahui dengan begitu dalamnya tentang tradisi yang ada di Desa Loram. Kemudian dia memberi saran dan menunjukkan kepada saya agar datang ke rumah Juru Pelindung dari Masjid Wali dan Pengembangan Tradisi yang ada di Loram tersebut. Juru Pelindung dan Pengembangan Masjid Wali tersebut adalah Bapak Afrah Amaluddin. Setelah sampai di rumah pak Afrah Amaluddin, saya wawancara tentang tradisi kirab ngantin mubeng gapura. Yang dimulai dari bagaimana asal mulanya dari tradisi tersebut, mengapa masyarakat masih meyakininya, dan bagaimana prosesi dari tradisi mubeng gapura, serta makna dari tradisi itu.
Menurut Afrah Amaluddin, asal mula dari tradisi kirab ngantin tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Wali. Masjid Jami’ At-Taqwa (Masjid Wali) Loram Kulon didirikan oleh Tji Wie Gwan seorang yang datang dari Champa. Dia merupakan murid dari Sunan Kudus yang diperintah untuk menyebarkan agama Islam di Kudus bagian Selatan. Tji Wie Gwan memilih daerah Loram karena pada waktu itu masyarakatnya masih banyak yang memeluk agama Hindhu. Siasat yang digunakan untuk menarik minat masyarakat Loram adalah dengan membangun masjid yang memiliki gapura menyerupai gapura Hindhu. Lambat laun warga yang penasaran tertarik dan akhirnya ikut belajar kepada Tji Wie Gwan. Lama kelamaan masyarakat Loram Kulon banyak yang memeluk agama Islam.
Menurut Juru Pelindung Masjid Jami’At-Taqwa, tradisi kirab ngantin ini sudah ada sejak zaman Sultan Hadlirin masih berada di masjid tersebut bersama santri-santrinya sekitar tahun 1400-an. Waktu itu, setiap warga yang akan hajatan baik itu acara syukuran atau pernikahan, selalu meminta berkah dari do’anya Sultan Hadlirin. Karena muridnya semakin banyak, maka tidak semua warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin. Akhirnya, sebagai gantinya Sultan Hadlirin meminta kepada warga untuk mengelilingi Gapura yang ada di depan masjid. Karena dulu belum ada KUA, maka pada jaman itu di do’akanlah mereka secara bersamaan di masjid. Setelah mereka melakukan ijaab qabul di masjid, mereka diperintah untuk mengitari Gapura Masjid sebanyak satu kali putaran. Hal ini dimaksudkan agar pasangan pengantin tersebut mendapat keberkahan.
Secara tersirat makna dari tradisi kirab ngantin ini adalah Sebagai bentuk rasa Syukur kepada Allah SWT, memohonkan do’a kepada keluarga dan masyarakat agar mempelai mendapat keberkahan, mengenalkan kepada masyarakat jika mereka telah menikah dan memohon do’anya. Tradisi ini juga sebagai upaya nguri-uri tradisi pendahulu, dan bisa sebagai sarana sedekah dengan nasi kepel dan lauk bothok. Dipercaya jika tidak melakukan tradisi ini akan mendapat bala atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga.
Kemudian pada hari Kamis, 31 November 2016, saya melanjutkan mencari data tentang penelitian ini. Untuk sebagai tambahan data observasi, saya mendatangi rumah ibu Lis Maysaroh salah satu warga Desa Loram yang dulunya sudah pernah melakukan prosesi mubeng gapura. Adapun dalam prosesi “pengantin mubeng gapura,” diawali dengan memasuki pintu Gapura sebelah Selatan yang kemudian berjalan dan keluar melalui pintu sisi Utara. Sebelum keluar, calon pengantin tersebut mengisi buku tamu dan menyerahkan sumbangan atau mengisi kotak amal jariyah kepada pihak masjid. Dalam tradisi kirab ngantin itu, ada beberapa prosesi yang dilaksanakan. Pertama, rombongan pengantin sampai di depan Gapura kemudian pasangan pengantin berjalan kaki menuju pintu sebelah Selatan. Sebelum masuk pintu, disarankan untuk berinfaq dengan memasukkan sejumlah uang di dalam kotak amal masjid. Hal ini bertujuan sebagai titipan amal jariyah di masjid yang dilakukan secara bersamaan dengan pasangan pengantin.
Prosesi kedua, pengantin berjalan menuju pintu sebelah Utara dan keluar menuju depan pintu Gapura utama. Sesampainya disana, pengantin berdiri sejenak dengan menghadap ke Barat (arah pintu) dan dipandu mengucapkan do’a. Salah satunya do’a yang berbunyi “Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma bariklana bilkhoir” (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah berkahilah kami dengan kebaikan). Dalam prosesi kirab ngantin tersebut, tidak ada ketentuan waktu dan hari pelaksanannya. Hanya saja, proses mengitari Gapura dilakukan dengan bilangan ganjil. Bisa tiga kali putaran, lima kali putaran, dan ada pula yang mengitari sebanyak tujuh kali.


B.     Dokumentasi
                Gb. I               



Gb. II


Gb. III


 
  Gb. I      : Gapura yang di itari oleh pasangan pengantin saat prosesi dari tradisi “mubeng   gapura” yang terletak di depan Masjid Wali (Masjid at-Taqwa) Loram, Jati Kudus.
Gb. II    : Wawancara dengan Ibu Lis Maysaroh, pada hari Kamis, 31 November 2016,   pukul: 08.39 WIB. Beliau yang sudah pernah melakukan tradisi mubeng gapura saat menikah.
Gb. III  : Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin, pada hari Rabu, 30 November 2016, Pukul: 13.21 WIB. Beliau adalah Juru Pelindung Majid Wali dan Pengembangan dari tradisi “pengantin mubeng gapura,” Loram Kulon, Jati Kudus.



[1] http://nailuszaman.blogspot.co.id/2016/04/makalah-semester-1-tradisi-dan-budaya.html?m=1
[2] Departement Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm. 1208
[3] Bpk. Afrah Amaluddin, Wawancara, Pada Hari Rabu, 30 November 2016, Pukul: 13.21 WIB
[4] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[5] Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 105-106
[6] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[7] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[8] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[9] http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sutasoma/article/view/321
[10] http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sutasoma/article/view/321
[11] http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sutasoma/article/view/321
[12] Ibu Lis Maysaroh, Wawancara, Pada Hari Kamis, 31 November 2016, Pukul: 08.39 WIB
[13] Hasil Wawancara dengan Ibu Lis Maysaroh
[14] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[15] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin
[16] Hasil Wawancara dengan Bpk. Afrah Amaluddin