Senin, 15 Mei 2017

Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an, Tafsir

KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN
Artikel
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Mata Kuliah : Tafsir II (Ahkam)
Dosen Pengampu : Abdul Karim, SS., MA












Disusun Oleh:
Ahna Soraya   (1530210019)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/IA
TAHUN 2016







KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN
Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang terbatas di bidang sektor domestik.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi ajaran tersebut.
A.    Pengertian Gender
Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”.[1] Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikannya sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis.[2]





B.     Prinsip-prinsip Kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an
Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur’an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:[3]
1.      Kesetaraan dalam Penciptaan
Dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an, penciptaan manusia dapat dikategorikan kepada tiga macam cara: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam AS); (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan Hawa); dan (3) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, dan Hawa).[4]
Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang beberapa macam cara penciptaan manusia di atas:
a.      Manusia Diciptakan dari Tanah (Penciptaan Nabi Adam AS)
Manusia sebagai salah satu spesies makhluk biologis, asal-usulnya berasal dari tanah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ ثُمَّ أَنتُمۡ تَمۡتَرُونَ ٢
     “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya, kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (QS. Al-An’am 6:2)
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ ٢٦
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr 15:26)[5]

b.      Manusia Diciptakan dari Tulang Rusuk Adam (Penciptaan Hawa)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’ 4:1)[6]
خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٦
 “Dia menciptakan kamu dari satu nafs kemudian Dia jadikan darinya pasangannya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan macam yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibu kamu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu. Milik-Nya semua kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?.” (QS. Az-Zumar 39:6)[7]

c.       Penciptaan Manusia Lewat Proses Reproduksi
Proses kelanjutan dan perkembangan manusia yang biasa disebut reproduksi, dijelaskan dengan beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah 32:7-9)[8]

d.      Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Al-Hujurat 49:13
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl 16:97.[9]
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”[10]
e.       Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah di samping untuk menjadi hamba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT. Juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifa fi al-ardl). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan di dalam QS. Al-An’am 6:165.[11]
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ ١٦٥
                  “Dan Dia yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu melalui apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[12]
f.       Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana dalam QS. Al-A’raf 7:172.
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”[13]

2.      Kesetaraan dalam Peran Publik
Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam sektor publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam sektor domestik.
Dalam surat At-Taubah ayat 71 disebutkan bahwa perempuan beriman, tolong-menolong, bahu membahu dengan laki-laki beriman dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Tugas dakwah amar ma’ruf nahi munkar sekalipun dapat dilakukan di dalam rumah, tetapi tidaklah terbatas dalam rumah tangga semata, tetapi juga di masyarakat (peran publik).
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)[14]
a.      Domestikasi Perempuan
Yang dimaksud dengan domestikasi perempuan di sini adalah membatasi peran perempuan dalam sektor domestik semata. Peran publik hanya diizinkan untuk keperluan yang terbatas, sesuai dengan ketentuan syara’. Namun demikian, sekalipun secara terbatas diizinkan berperan di luar rumah, perempuan tetap lebih utama dan lebih baik hanya berperan di dalam rumah.[15]
Ayat yang biasa dijadikan dalil domestikasi perempuan adalah firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا ٣٣
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab 33:33)[16]


C.    Penafsiran Tentang Kesetaraan Gender
1.      Kesetaraan dalam Penciptaan
Menurut Al-Qur’an, ada tiga macam penciptaan manusia. Pertama, Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah; Kedua, Hawa diciptakan dari Adam; dan ketiga, penciptaan umat manusia secara keseluruhan melalui proses reproduksi melalui seorang ibi dan bapak. Dari ketiga macam penciptaan di atas penciptaan Hawa lah yang tidak disebutkan secara jelas dan terperinci maksudnya. Beberapa ayat Al-Qur’an (QS. An-Nisa 4:1, Al-A’raf 7:189, Az-Zumar 39:6) hanya menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan dari diri yang satu itu (ditafsirkan sebagai Adam) pasangannya (ditafsirkan sebagai Hawa).
Karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penciptaan Hawa (pasangan Adam) maka para mufasir berbeda dalam menafsirkannya. Para mufasir klasik seperti ath-Thabari, az-Zamakhsyari, Ibn Katsir dan al-Alusi berpendapat bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT adalah Adam dan yang kedua adalah Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pendapat mereka berdasarkan penafsiran terhadap Surat An-Nisa’ ayat satu. Frasa (نفس واحدة) dan (زوجها) ditafsirkan masing-masing sebagai Adam dan Hawa. Sedangkan huruf (من) yang terdapat dalam kalimat (وخلق منها زوجها) ditafsirkan sebagai (من تبعيضيه) yang berarti sebagian. Dengan demikian Hawa diciptakan dari sebagian Adam.[17]
Menurut ath-Thabari (w. 210 H), yang dimaksud dengan (نفس واحدة) dalam ayat (QS. An-Nisa’ 4:1) adalah Nabi Adam AS dan (زوجها) adalah Hawa. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam di waktu Adam sedang tidur. Az-Zamakhsyari (w. 538 H/1144 M), Ibn Katsir (w. 774 H) dan al-Alusi (w. 1270H/1854 M) juga menyatakan hal yang sama dengan ath-Thabari.[18]
Menurut Ridha, mayoritas mufasir menafsirkan bahwa (نفس واحدة) adalah Adam bukan berdasarkan teks ayat, tetapi berdasarkan keyakinan yang sudah diterima secara umum pada waktu itu bahwa Adam adalah nenek moyang umat manusia (أبو البشر). Semua manusia mempunyai asal kemanusiaan yang sama. Oleh sebab itu semua bersaudara, tanpa memandang warna kulit, perbedaan bahasa atau perbedaan keyakinan tentang asal-susul manusia itu sendiri. Ayat ini tidak bermaksud menjelaskan asal kejadian manusia.[19]

2.      Kesetaraan dalam Peran Publik
Persoalan dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik adalah adanya ayat yang ditafsirkan sebagai perintah domestikasi perempuan (Surat Al-Ahzab 33:33) dan ayat yang menyatakan bahwa dalam transaksi kredit kesaksian perempuan bernilai separo kesaksian laki-laki (Surat Al-Baqarah 2:282). Dua ayat tersebut memberikan kesan diskriminatif terhadap perempuan.
a.      Domestikasi Perempuan
Dalam kasus Surat Al-Ahzab ayat 33, kunci persoalannya terletak pada penafsiran apakah ayat ini khusus untuk para isteri Nabi sebagaimana yang tersurat dalam ayat atau juga berlaku untuk perempuan-perempuan muslimah lainnya. Jika ayat ini dipahami hanya berlaku khusus untuk isteri-isteri Nabi maka perempuan-perempuan Muslimah lainnya tidak terkena ketentuan domestikasi tersebut, sehingga tidak ada lagi persoalan kesetaraan gender dalam masalah ini.
Menurut Ibn Katsir kalimat (وَقَرْنَ فِيْ بُيُوتِكُنَّ) adalah perintah kepada kaum perempuan untuk tetap berada di rumah, jangan keluar kalau tidak ada keperluan. Contoh keperluan yang dibenarkan syari’ah adalah shalat di masjid dengan syarat yang telah ditentukan. Dalam menafsirkan kalimat (وَقَرْنَ فِيْ بُيُوتِكُنَّ) Hamka menyatakan bahwa isteri-isteri Nabi hendaklah memandang bahwa rumahnya, yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggalnya yang tenteram dan aman. Di sanalah terdapat mawaddatan dan rahmatan, yaitu cinta dan kasih sayang. Menjadi ibu rumah tangga yang terhormat. Hamka sama sekali tidak menyinggung bahwa dengan ayat itu isteri Nabi tidak diizinkan atau dibatasi keluar rumah sebagaimana yang dipahami oleh Ibn Katsir.[20]
Menurut ath-Thabari, az-Zamakhsyari dan ar-Razi, ayat ini sebagaimana ayat-ayat sebelumnya ditujukan kepada para isteri Nabi. Mereka tidak menyebutkan bahwa ayat ini juga berlaku bagi perempuan Muslimah lainnya. Berbeda dengan ketiga mufasir di atas, Ibn Katsir berpendapat ayat ini berlaku juga untuk kaum Muslimah lainnya. Dalam pemahaman mufasir ini, kaum perempuan diperintahkan untuk tetap berada dirumah, tidak boleh keluar kalau tidak ada keperluan yang dibenarkan oleh syari’ah, seperti shalat di masjid. Al-Alusi juga mempunyai pemahaman yang sejalan dengan Ibn Katsir. Bahkan, menurut al-Alusi, perempuan tidak hanya dibatasi keluar rumah, tetapi bisa juga haram, bahkan menjadi dosa besar seperti pergi ziarah kubur atau pergi ke masjid dengan memakai parfum dan perhiasan jika terbukti mendatangkan fitnah.[21]

D.    Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dalam Al-Qur’an tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang membedakan antara keduanya hanyalah dilihat dari segi ketaqwaan masing-masing individu. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menyembah/beribadah kepada Allah SWT.
Para mufasir berbeda dalam menafsirkan kesetaraan gender dalam penciptaannya. Para mufasir klasik seperti ath-Thabari, az-Zamakhsyari, Ibn Katsir dan al-Alusi berpendapat bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT adalah Adam dan yang kedua adalah Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.















DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015
M. Echols John, dkk, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, Cet. XII, 1983
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 10, Jakarta: Lentera Hati, 2009
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Nasarudduin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2001
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, Cet.1, 2006





[1] M. Echols John, dkk, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, Cet. XII, 1983, hlm. 265
[2] Nasarudduin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2001, hlm. 33-35
[3] Ibid, hlm. 248
[4] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, Cet.1, 2006, hlm. 89
[5] Ibid, hlm. 89-90
[6] Ibid, hlm. 91
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 188
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 10, Jakarta: Lentera Hati, 2009, hlm. 365
[9] Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm. 248-249
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, hlm. 212
[11] Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm. 252
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 362
[13] Nasaruddin Umar, Op.Cit, hlm. 253
[14] Yunahar Ilyas, Op.Cit, hlm. 174
[15] Ibid, hlm. 175
[16] M. Quraish Shihab, Op.Cit Volume 10, hlm. 454
[17] Yunahar Ilyas, Op.Cit, hlm. 185-186
[18] Ibid, hlm. 94
[19] Ibid, hlm. 97
[20] Ibid, hlm. 176-177
[21] Ibid, hlm. 254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar