KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN
Artikel
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Mata Kuliah : Tafsir II (Ahkam)
Dosen Pengampu : Abdul Karim, SS., MA
Disusun
Oleh:
Ahna
Soraya (1530210019)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN/IA
TAHUN
2016
KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN
Dalam pandangan
hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya
manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki
kodratnya masing-masing. Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk
mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum
laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran,
sementara perempuan memperoleh peran yang terbatas di bidang sektor domestik.
Al-Qur’an tidak
mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia.
Dihadapan Allah, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun
masalahnya terletak pada implementasi ajaran tersebut.
A.
Pengertian Gender
Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti
“jenis kelamin”.[1]
Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai
“perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku. Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan,
khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”.
Jender diartikannya sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis.[2]
B.
Prinsip-prinsip Kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an
Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam
menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur’an.
Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:[3]
1.
Kesetaraan dalam Penciptaan
Dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an, penciptaan manusia
dapat dikategorikan kepada tiga macam cara: (1) Diciptakan dari tanah
(penciptaan Nabi Adam AS); (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan
Hawa); dan (3) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis
dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam,
dan Hawa).[4]
Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang beberapa
macam cara penciptaan manusia di atas:
a.
Manusia Diciptakan dari Tanah (Penciptaan Nabi Adam AS)
Manusia
sebagai salah satu spesies makhluk biologis, asal-usulnya berasal dari tanah,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ
ثُمَّ أَنتُمۡ تَمۡتَرُونَ ٢
“Dialah
yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu),
dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada
sisi-Nya, kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (QS.
Al-An’am 6:2)
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
مِن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ ٢٦
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr 15:26)[5]
b.
Manusia Diciptakan dari Tulang Rusuk Adam (Penciptaan Hawa)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ
مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
١
“Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’ 4:1)[6]
خَلَقَكُم
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ
بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ
لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٦
“Dia menciptakan kamu dari satu nafs kemudian
Dia jadikan darinya pasangannya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan macam yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibu kamu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu. Milik-Nya semua kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?.” (QS. Az-Zumar 39:6)[7]
c.
Penciptaan Manusia Lewat Proses Reproduksi
Proses
kelanjutan dan perkembangan manusia yang biasa disebut reproduksi, dijelaskan
dengan beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
ٱلَّذِيٓ
أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ ٧ ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن
سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ
فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ
قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ ٩
“Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah
32:7-9)[8]
d.
Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah
satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ
إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Dalam
kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal.
Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa
(muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya
perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur’an
menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun, sebagaimana
disebutkan di dalam QS. Al-Hujurat 49:13
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam kapasitas
sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan
penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana
disebutkan dalam QS. An-Nahl 16:97.[9]
مَنۡ
عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ
حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ
يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”[10]
e.
Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud
dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah di samping untuk menjadi
hamba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT. Juga untuk
menjadi khalifah di bumi (khalifa fi al-ardl). Kapasitas manusia sebagai
khalifah di bumi ditegaskan di dalam QS. Al-An’am 6:165.[11]
وَهُوَ
ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ
دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ
وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ ١٦٥
“Dan Dia
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu melalui apa
yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya,
dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[12]
f.
Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki
dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial
dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari
rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya,
sebagaimana dalam QS. Al-A’raf 7:172.
وَإِذۡ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ
وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ
شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا
غَٰفِلِينَ ١٧٢
“Dan
ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”[13]
2.
Kesetaraan dalam Peran Publik
Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat
dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki
untuk berperan dalam sektor publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam
sektor domestik.
Dalam
surat At-Taubah ayat 71 disebutkan bahwa perempuan beriman, tolong-menolong,
bahu membahu dengan laki-laki beriman dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
Tugas dakwah amar ma’ruf nahi munkar sekalipun dapat dilakukan di dalam rumah,
tetapi tidaklah terbatas dalam rumah tangga semata, tetapi juga di masyarakat
(peran publik).
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ
وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ
سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah 9:71)[14]
a.
Domestikasi Perempuan
Yang dimaksud dengan domestikasi perempuan di sini adalah membatasi
peran perempuan dalam sektor domestik semata. Peran publik hanya diizinkan
untuk keperluan yang terbatas, sesuai dengan ketentuan syara’. Namun demikian,
sekalipun secara terbatas diizinkan berperan di luar rumah, perempuan tetap
lebih utama dan lebih baik hanya berperan di dalam rumah.[15]
Ayat
yang biasa dijadikan dalil domestikasi perempuan adalah firman Allah dalam
Surat Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرۡنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ
وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ
وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ
أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا ٣٣
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
(QS. Al-Ahzab 33:33)[16]
C.
Penafsiran Tentang Kesetaraan Gender
1.
Kesetaraan dalam Penciptaan
Menurut Al-Qur’an, ada tiga macam penciptaan manusia. Pertama, Adam
sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah; Kedua, Hawa diciptakan dari
Adam; dan ketiga, penciptaan umat manusia secara keseluruhan melalui proses
reproduksi melalui seorang ibi dan bapak. Dari ketiga macam penciptaan di atas
penciptaan Hawa lah yang tidak disebutkan secara jelas dan terperinci
maksudnya. Beberapa ayat Al-Qur’an (QS. An-Nisa 4:1, Al-A’raf 7:189, Az-Zumar
39:6) hanya menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan dari diri yang satu itu
(ditafsirkan sebagai Adam) pasangannya (ditafsirkan sebagai Hawa).
Karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit tentang
penciptaan Hawa (pasangan Adam) maka para mufasir berbeda dalam menafsirkannya.
Para mufasir klasik seperti ath-Thabari, az-Zamakhsyari, Ibn Katsir dan
al-Alusi berpendapat bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT
adalah Adam dan yang kedua adalah Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pendapat mereka berdasarkan penafsiran
terhadap Surat An-Nisa’ ayat satu. Frasa (نفس واحدة) dan (زوجها) ditafsirkan masing-masing sebagai Adam
dan Hawa. Sedangkan huruf (من) yang terdapat dalam
kalimat (وخلق منها زوجها) ditafsirkan sebagai (من تبعيضيه) yang berarti sebagian. Dengan demikian
Hawa diciptakan dari sebagian Adam.[17]
Menurut ath-Thabari (w. 210 H), yang dimaksud dengan (نفس واحدة) dalam ayat (QS.
An-Nisa’ 4:1) adalah Nabi Adam AS dan (زوجها)
adalah Hawa. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam di waktu Adam sedang tidur.
Az-Zamakhsyari (w. 538 H/1144 M), Ibn Katsir (w. 774 H) dan al-Alusi (w.
1270H/1854 M) juga menyatakan hal yang sama dengan ath-Thabari.[18]
Menurut Ridha, mayoritas mufasir menafsirkan bahwa (نفس واحدة) adalah Adam bukan berdasarkan teks ayat,
tetapi berdasarkan keyakinan yang sudah diterima secara umum pada waktu itu
bahwa Adam adalah nenek moyang umat manusia (أبو البشر).
Semua manusia mempunyai asal kemanusiaan yang sama. Oleh sebab itu semua
bersaudara, tanpa memandang warna kulit, perbedaan bahasa atau perbedaan
keyakinan tentang asal-susul manusia itu sendiri. Ayat ini tidak bermaksud menjelaskan
asal kejadian manusia.[19]
2.
Kesetaraan dalam Peran Publik
Persoalan dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
peran publik adalah adanya ayat yang ditafsirkan sebagai perintah domestikasi
perempuan (Surat Al-Ahzab 33:33) dan ayat yang menyatakan bahwa dalam transaksi
kredit kesaksian perempuan bernilai separo kesaksian laki-laki (Surat
Al-Baqarah 2:282). Dua ayat tersebut memberikan kesan diskriminatif terhadap
perempuan.
a.
Domestikasi Perempuan
Dalam kasus Surat Al-Ahzab ayat 33, kunci persoalannya terletak
pada penafsiran apakah ayat ini khusus untuk para isteri Nabi sebagaimana yang
tersurat dalam ayat atau juga berlaku untuk perempuan-perempuan muslimah
lainnya. Jika ayat ini dipahami hanya berlaku khusus untuk isteri-isteri Nabi
maka perempuan-perempuan Muslimah lainnya tidak terkena ketentuan domestikasi
tersebut, sehingga tidak ada lagi persoalan kesetaraan gender dalam masalah
ini.
Menurut Ibn Katsir kalimat (وَقَرْنَ فِيْ
بُيُوتِكُنَّ) adalah perintah kepada kaum perempuan untuk tetap berada di
rumah, jangan keluar kalau tidak ada keperluan. Contoh keperluan yang
dibenarkan syari’ah adalah shalat di masjid dengan syarat yang telah
ditentukan. Dalam menafsirkan kalimat (وَقَرْنَ فِيْ
بُيُوتِكُنَّ) Hamka menyatakan bahwa isteri-isteri Nabi hendaklah memandang
bahwa rumahnya, yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggalnya yang tenteram
dan aman. Di sanalah terdapat mawaddatan dan rahmatan, yaitu cinta dan kasih
sayang. Menjadi ibu rumah tangga yang terhormat. Hamka sama sekali tidak menyinggung
bahwa dengan ayat itu isteri Nabi tidak diizinkan atau dibatasi keluar rumah
sebagaimana yang dipahami oleh Ibn Katsir.[20]
Menurut ath-Thabari, az-Zamakhsyari dan ar-Razi, ayat ini
sebagaimana ayat-ayat sebelumnya ditujukan kepada para isteri Nabi. Mereka
tidak menyebutkan bahwa ayat ini juga berlaku bagi perempuan Muslimah lainnya.
Berbeda dengan ketiga mufasir di atas, Ibn Katsir berpendapat ayat ini berlaku
juga untuk kaum Muslimah lainnya. Dalam pemahaman mufasir ini, kaum perempuan
diperintahkan untuk tetap berada dirumah, tidak boleh keluar kalau tidak ada
keperluan yang dibenarkan oleh syari’ah, seperti shalat di masjid. Al-Alusi
juga mempunyai pemahaman yang sejalan dengan Ibn Katsir. Bahkan, menurut
al-Alusi, perempuan tidak hanya dibatasi keluar rumah, tetapi bisa juga haram,
bahkan menjadi dosa besar seperti pergi ziarah kubur atau pergi ke masjid
dengan memakai parfum dan perhiasan jika terbukti mendatangkan fitnah.[21]
D.
Kesimpulan
Dari hasil
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dalam Al-Qur’an tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang membedakan antara keduanya
hanyalah dilihat dari segi ketaqwaan masing-masing individu. Laki-laki dan
perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan
Tuhan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menyembah/beribadah kepada
Allah SWT.
Para mufasir
berbeda dalam menafsirkan kesetaraan gender dalam penciptaannya. Para mufasir
klasik seperti ath-Thabari, az-Zamakhsyari, Ibn Katsir dan al-Alusi berpendapat
bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT adalah Adam dan yang kedua
adalah Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015
M. Echols John, dkk, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, Cet. XII, 1983
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 10, Jakarta: Lentera Hati, 2009
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Nasarudduin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, Cet. II, 2001
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender
Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: Labda Press,
Cet.1, 2006
[1] M. Echols
John, dkk, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, Cet. XII, 1983,
hlm. 265
[2] Nasarudduin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, Cet. II, 2001, hlm. 33-35
[3] Ibid,
hlm. 248
[4] Yunahar Ilyas, Kesetaraan
Gender Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: Labda
Press, Cet.1, 2006, hlm. 89
[5] Ibid,
hlm. 89-90
[6] Ibid,
hlm. 91
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 12,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 188
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 10, Jakarta: Lentera Hati, 2009, hlm. 365
[9] Nasaruddin
Umar, Op.Cit, hlm. 248-249
[10] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015, hlm. 212
[11] Nasaruddin
Umar, Op.Cit, hlm. 252
[12] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
Volume 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 362
[14] Yunahar Ilyas,
Op.Cit, hlm. 174
[15] Ibid,
hlm. 175
[16] M. Quraish
Shihab, Op.Cit Volume 10, hlm. 454
[17] Yunahar Ilyas,
Op.Cit, hlm. 185-186
[18] Ibid,
hlm. 94
[20] Ibid,
hlm. 176-177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar