Senin, 15 Mei 2017

Agama Buddha di Desa Kalirejo Undaan Kudus

AGAMA BUDDHA DI DESA KALIREJO (BABALAN)
Kec. UNDAAN, Kab. KUDUS
Tugas Observasi
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Mata Kuliah : Sejarah Agama-agama
Dosen Pengampu : Mas’udi Jufri, S. Fil, I. MA










Disusun Oleh:
Ahna Soraya   (1530210019)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN/IA
TAHUN 2016





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Warga Desa Kalirejo Undaan Kudus, terdapat tiga agama yang dianutnya. Tiga agama tersebut meliputi agama Islam, Kristen dan Buddha. Akan tetapi mayoritas atau sebagian besar dari Desa Kalirejo adalah beragama Islam. Sebagiannya adalah pengikut agama Kristen dan Buddha. Agama seyogyanya dapat dijadikan pedoman paling utama untuk mengeksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia itu sendiri, bahkan aspek kemanusiaan itulah unsur yang terpenting dalam diri manusia.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri atas berbagai suku dan bangsa, adat istiadat dan penganut agama yang berbeda. Kemajemukan tersebut suatu kenyataan yang patut di syukuri sebagai kenyataan bangsa. Namun hal itu dapat menimbulkan kerawanan dalam konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda tersebut. Namun keanekaragaman agama yang dapat menjadi kekuatan bangsa manakala agama –agama mengakari prinsip umum sebagai landasan bersama dalam merespon situasi keanekaragaman.[1]
Diantara agama-agama dunia adalah salah satunya agama Buddha. Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India yang meliputi beragam tradisi, kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddharta Gautama, yang secara umum dikenal sebagai sang Buddha. Oleh karena itu, pembahasan tentang hakikat Buddha nampaklah sangat diperlukan. Hal ini mengingat bahwasannya agama Buddha termasuk salah satu agama yang diakui di Indonesia. Dalam hal ini agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu merupakan agama yang secara legilitas diakui oleh Negara, oleh karena itu menjadi suatu kesadaran bagi kita agar tercipta kerukunan antar umat beragama dan menghargai semua bentuk kegiatan dari masing-masing agamanya.
Dengan demikian dalam makalah ini akan membahas tentang agama Buddha di Desa Kalirejo yang sebagimana dalam pembahasan nanti adalah hasil dari observasi di Desa Kalirejo Undaan Kudus.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Munculnya Agama Buddha di Desa Kalirejo?
2.      Hari Besar Apa Saja yang Diperingati dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo?
3.      Bagaimana Sistem Ketuhanan dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo?
4.      Bagaimana Sistem Peribadatan dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo?
5.      Bagaimana Sistem Keberagamaan dalam Ajaran Agama Buddha di Desa Kalirejo?
6.      Bagaimana Sistem Dakwah dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo?


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Agama Buddha Masuk di Desa Kalirejo
Agama Buddha masuk di Kudus adalah pada tahun 1960, sedangkan agama Buddha masuk di desa Kalirejo (babalan) yaitu pada tahun 1962. Pengikutnya yang berkisaran antara 200 orang sampai sekarang. Karena dulu begitu kurangnya pemahaman, seolah-olah bahwa agama Buddha tidak mempunyai Tuhan Yang Maha Esa. Agama Buddha adalah agama yang pertama kali masuk di Indonesia. Agama Buddha lahir pada abad ke-6 sebelum Masehi di India dan pembawanya adalah Siddharta Gautama. Siddharta Gautama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhudana yang memerintah suku Syakia, dan ibunya bernama Maya.
Siddharta Gautama dilahirkan di Kapilawastu, sebelah utara Benares di daerah Nepal, di lereng pegunungan Himalaya pada tahun 566 sebelum Masehi. Di waktu ia dilahirkan oleh beberapa orang Brahmana pandai, diramalkan bahwa anak itu akan meninggalkan keraton dan menjadi Bikhsu, yakni seorang padri yang hidupnya mengemis. Seorang Bikkhu adalah yang hidupnya meninggalkan materi keduniaan, tidak berkeluarga dan hidupnya hanya dipinggir-pinggir vihara yang makannya hanya jam sebelas siang setelah itu tidak makan sama sekali. Jika masih ada materi keduniaan, maka dianggap tidak bersih hatinya atau dalam cara beragamanya tidak sempurna.
Selama enam tahun Shiddharta mengembara, dan selama itu belum juga dapat apa yang dicarinya. Pernah ia menjumpai dua orang guru yang menyuruhnya berupa menyiksa diri, tetapi pelajaran mereka satu persatu pun tidak ada faedahnya menyiksa diri semacam ajaran sang guru itu, dan sesudah ia makan lagi seperti biasa, barulah karena keyakinan sendiri dan menemui jalan yang dikehendakinya. Pada waktu di bawah pohon Bodhi (ilmu pengetahuan, keinsyafan) datanglah si dewa jahat menggoda, tapi ia dapat mengalahkannya. Dan sesudah mengalahkannya itu, ia tahu sebab segala penderitaan di dunia ini dan bagaimana cara menghilangkannya.[2]
Kemudian menghadap dewa Brahma dengan memohon kepadanya atas nama para dewa dan atas nama semua manusia, supaya menyiarkan pengetahuannya yang sungguh akan menyinari dunia ini. Ia mendapat pencerahan karena enam tahun bertapa di hutan. Sejak itulah Siddharta Gautama menjadi Buddha yang artinya disinari. Peristiwa itu terjadi pada tahun 531 sebelum Masehi, dan pada waktu itu Siddharta berusia 35 tahun. Ia menyiarkan keyakinannya di negeri-negeri Buddha selama 45 tahun, ia melihat penganut-penganutnya makin bertambah, bahkan raja-raja, rakyat sengsara datang berduyun-duyun meminta wejangan petunjuk hidup.  Budh adalah “sinar” sedangkan dha yaitu mempunyai arti “padang”. Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan, dengan tidak mendapat wahyu dari Tuhan melainkan dari seorang guru. Demikian menurut Suntoro, yang selaku kepala di Vihara Bodhi Pundharika Kalirejo Undaan Kudus.[3]

B.     Hari Besar dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo
Hari besar atau hari kemenangan dalam agama Buddha yang biasanya dirayakan oleh warga Desa Kalirejo terutama para pengikutnya sebenarnya ada tiga, akan tetapi yang tercantum dalam kalender Nasional hanya satu yaitu hari Waisak. Penjelasan dari Bpk. Suntoro, hari besar dalam agama Buddha itu ada tiga macam. Diantaranya sebagai berikut:
1.      Hari Waisak, yang merupakan kelahiran sang Buddha. Di hari Waisak ini pelaksanaannya adalah tepat tanggal 22 Mei. Tetapi, jika dalam satu bulan Mei penuh dengan merayakan hari tersebut tidaklah menjadi masalah.
2.      Hari Ashada, adalah ketika Siddharta Gautama turun dari pertapaan selama enam tahun, yang kemudian mendapat pencerahan dan akhirnya menjadi sang Buddha. Membabarkan ajaran (Dharma) tentang kehidupan alam, kultur manusia yang dimana manusia itu ada yang tua dan ada yang muda.
3.      Hari Kartina, merupakan hari persembahan jubah kepada para Bikkhu (biksu) atau sangha yang gundul-gundul. Sebagai seorang biksu atau biksuni Buddhis, mereka meninggalkan materi keduniaan dan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Para biksu atau biksuni biasanya hanya memilki sedikit barang, seperti jubah, mangkuk, dan pisau untuk mencukur rambut. Maka dari itu, di hari Ashada ini adalah diwajibkan satu tahun sekali umat Buddha untuk berdana kepada para biksu/sangha.[4]

C.    Sistem Ketuhanan dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo
Menurut Suntoro, agama Buddha juga mempunyai Tuhan Yang Maha Esa. Patung Siddharta Gautama itu merupakan simbol dalam beribadahnya. “Seperti dalam agama Islam yang ketika beribadah itu menghadap kiblat,” begitu jelasnya. Dalam ajaran Buddha tidak ada ajaran tentang Tuhan, kewajiban manusia kepada Tuhan, dan sebagainya seperti yang didapat dalam agama-agama lain. Dan Buddha Gautama sendiri bukanlah Tuhan atau penjelmaan Tuhan di dunia ini, melainkan seorang manusia biasa. Sang Buddha hidup dan mengajar dibagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 sebelum era umum. Ia dikenal para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasannya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan, kehausan/nafsu rendah, dan penderitaan, dengan menyadari sebab musabab saling bergantung dan sunyatan dan mencapai Nirwana.
Pendapat Buddha tentang kejadian alam ini yaitu, wujud ini disebabkan oleh peredaran yang terus menerus secara nature, yang tidak ubahnya dengan peredaran mata rantai tidak diketahui mana yang awal dan mana yang akhir, satu sama lain hajat menghajatkan, bukan karena oleh adanya yang mewujudkan dan mengatur wujud ini. Buddha memberi contoh dengan terjadinya manusia. Manusia terjadi dari empat unsur, meliputi air, tanah, api dan udara. Demikianlah keterangan dari Suntoro ketika dalam wawancara.[5]
Bukan adanya sang Kholik yang tertentu bagi unsur-unsur ini, tapi hanyalah semata-mata karena adanya pertemuan antara satu unsur dengan unsur lain. Pertemuan ini menghasilkan sesutau yang baru, yang kemudian bertemu pula sesuatu yang lain, lalu terjadi pula lah yang baru lagi. Demikianlah terjadi proses-proses kejadian sampai manusia terwujud. Wujud manusia itu menyebabkan penderitaan dan penderitaan menyebabkan kematian, selanjutnya kematian menyebabkan hidup lagi dan seterusnya.
Dia lebih memandang bahwa kehidupan manusia ini semua adalah penderitaan. Simbol atau pembawa ajarannya dari agama Buddha adalah Siddharta Gautama, dengan kitabnya yaitu Tripitaka dan tujuan akhirnya adalah menuju kehidupan Nirwanna. Tripaka sendiri mempunyai arti, Tri bermakna “tiga”, dan Pitaka yang artinya “kehidupan/memadai kehidupan”. Isi dari kitab Tripitaka tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Unsur kehidupan
2.      Masyarakat
3.      Alam sekitar[6]
Menurut penjelasan lain, Tri berarti “tiga” dan pitaka bermakna “keranjang/bakul”, tapi yang dimaksud keranjang di sini adalah keranjang hikmah.[7] Adapun yang termuat dalam Tripitaka itu adalah:
1.      Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan khutbah Buddha Gautama. Bagian besar dari padanya terdiri atas percakapan (dialog) antara Buddha dengan berbagai muridnya. Di dalamnya juga himpunan kata-kata hikmah, himpunan sajak-sajak agamawi, kisah-kisah kiasan, kisah berbagai orang suci dan sebagainya. Keseluruhan himpunan ini lebih ditujukan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
2.      Vinaya Pitaka, berisi peraturan tata tertib hidup setiap anggota biara (sangha). Dalam himpunan itu juga dibuat tentang sejarah pendirian biara. Himpunan dalam vinaya ini lebih ditujukan kepada para rahib yang dipanggil dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
3.      Abidhamma Pitaka, berisikan berbagai himpunan yang mempunyai nilai tinggi (great values), berisikan pembahasan mendalam tentang prosa pemikiran dan prosa kesadaran. Himpunan ini lebih ditujukan kepada golongan terpelajar dalam agama Buddha.
Kitab suci agama Buddha ditulis dalam bahasa “Pali” yakni bahasa umum. Isi kitab suci agama Buddha ini diwariskan turun temurun secara lisan dan hafalan.[8]

D.    Sistem Peribadatan dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo
Sembahyang atau ibadahnya bagi pengikut agama Buddha di Desa Kalirejo ini adalah pada waktu pagi dan sore hari. Tetapi, jika ada penambahan siang ataupun malam boleh saja dilakukan. Yang diperlukan adalah ketulusan hati saat beribadah, sembahyangnya tersebut menggunakan bahasa Sansakerta atau mantra. Sebenarnya agama Buddha adalah tidak menyembah patung, tetapi semua agama pasti mempunyai simbol masing-masing. Dan yang dijadikan simbol dari agama Buddha ini adalah patung Siddharta Gautama. Agama Buddha dalam sembahyangnya bisa menghadap ke arah manapun, karena Tuhan Yang Maha Esa adalah tidak menetap dimana.[9] Dalam beribadahnya bisa dilakukan dimanapun tempatnya, tidak harus di vihara tetapi juga bisa dilakukan di rumah. Setiap malam minggu para penganut agama Buddha ini datang ke vihara untuk melakukan beribadah bersama. Akan tetapi, jika setiap malam hari datang ke vihara juga tidak masalah. Kemudia di hari minggu paginya adalah waktunya untuk anak-anak sekolah. Dalam perkawinan orang Buddha bukanlah di KUA, akan tetapi langsung ke Dup Capil setelah pemberkahan atau ritual do’a di Vihara. Berbeda dalam agama Islam, yang nikahnya harus ke KUA sehingga mempunyai buku nikah sebagai bukti tanda sahnya sudah menjadi suami istri.[10]
Sistem peribadatan agama Buddha di Desa Kalirejo ini, ada hari-hari tertentu yang dilaksanakan dan sudah menjadi kebiasaan oleh penganutnya. Adapun hari-hari ibadah tersebut adalah:
1.      Setiap hari Rabu Wage, penganut agama Buddha di Desa Kalirejo mengadakan “Ngaji Mantra” yang bertujuan untuk mendo’akan para leluhur.
2.      Pada hari Senin Kliwon, yang dilakukan adalah “Santi Puji” atau pujian (pitutur). Yang dalam agama Islam seperti ketika membaca al-Barjanji.
3.      Setiap malam hari Rabu, ada perkumpulan ibu-ibu juga seperti berdo’a dengan mantranya, atau yang dalam agama Islam itu seperti Jam’iyah.
Di dalam Vihara terdapat patung, bunga, air, api yang melambangkan alam. Patung adalah yang dijadikan simbol dalam sesembahan, bunga yang melambangkan bahwa manusia itu juga pasti layu. Air dan api, dalam agama Buddha itu haruslah dihormati. Karena manusia jika kekurangan air, maka tidak akan bertahan. Begitu sebaliknya jika dalam kehidupan ini kelebihan air, pasti akan tidak dapat bertahan pula. Sedangkan api juga punya hal yang sama, jika manusia tidak adanya kehangatan maka tidak bisa bertahan untuk hidup begitupun sebaliknya. Maka dari itu, air dan api harus dihormati. Agama Buddha lebih memandang penderitaan manusia sebagai suatu yang harus dipikirkan dan bersikap apatis terhadap yang menimbulkan atau yang menjadikannya.
Menurut Suntoro, ada tiga larangan dalam agama Buddha. Larangan tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Wachikama, yaitu perbuatan yang keluar dari pembicaraan, yang bisa menyebabkan orang lain tersinggung ataupun sakit hati.
2.      Manokama, merupakan perbuatan yang dilakukan melalui batin, membicarakan kejelekan seseorang dalam hati.
3.      Kayakama, ialah perbuatan yang dilakukan melalui badan jasmani, seperti memukul seseorang.[11]
Jadi, ketiga macam larangan di atas tersebut haruslah dihindari dalam diri seorang penganut agama Buddha.

E.     Sistem Keberagamaan dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo
Semua agama mengajarkan cinta kasih kepada alam dan sekitar serta tidak ada kekerasan. Dengan adanya dialog antar umat beragama, maka akan bertumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan sikap saling pengertian dan toleran terhadap agama-agama lain. Sehingga tumbuh pula kerukunan antar umat beragama. Setiap agama mengajarkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, semua umat beragama haruslah saling bertoleransi. Jadi, jika adanya permusuhan ataupun cengkrah batin itu adalah tergantung pada sikap kita. Dalam ajaran agama Buddha adalah untuk mengoreksi diri/jangan gegabah. Karena setiap perbuatan pasti ada unsur sebab akibatnya. Dari bangun tidur sampai kemudian malam menjelang tidur lagi adalah tugasnya untuk mengoreksi dirinya sendiri.[12]
Pada hakikatnya semua makhluk hidup itu ada yang menciptakan yaitu “Tuhan Yang Maha Esa”. Kalau dikaitkan dengan manusia, kehidupan manusia itu tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan (Gusti Allah Ta’ala) sudah ada di dalam diri manusia sebelum dia dilahirkan. Maka dari itu keberadaan Tuhan memang ada, sedangkan umat-umat yang bertuhan harus mengakui ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “hakikat kebenaran”, masalah apakah hakikat kebenaran itu valid atau tidak, rasional atau inrasional, terkadang disebabkan oleh manusia yang tidak mempunyai dasar keyakinan yang kuat sehingga terjadi kemurtadan, keraguan, hingga tidak percaya adanya Tuhan. Maka dari itu kita tidak boleh menganggap bahwa agama yang kita pegangi adalah agama yang paling benar sendiri.[13]
Kebudayaan Buddhis telah meresap ke dalam setiap segi kehidupan manusia. Kita mengetahui bahwa Buddhisme adalah suatu agama yang membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik di alam ini dan selanjutnya. Pengembangan batin adalah segi terpenting dari agama. Untuk mencapai perkembangan batin ini, kita harus memulai dengan menumbuhkan dasar moral yang kuat sehingga kita mempunyai dasar yang teguh. Dan dengan mengerti ajaran-ajaran sang Buddha, kita dapat memperoleh inspirasi batin yang diperlukan. Rasa syukur dan penghormatan menuju sang Guru Agung, ajaran-ajarannnya dan Sangha harus kita hormati. Pencapaian pengembangan batin dan penghormatan pada sang Guru adalah jalan yang dapat membawa kita kepada kehidupan yang benar menuju kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan akhir. Inilah tujuan setiap umat Buddha.
Kehidupan dalam agama Buddha kelak akan berubah-ubah atau reinkarnasi. Jika besuk kita meninggal, tidak bisa di do’akan oleh keluarga ataupun kerabatnya. Melainkan dirinya sendiri lah yang pujian (berdo’a) dengan hasil perbuatan amalnya. Hukum karma atau hukum sebab akibat, yang dimaksudkannya segala amal perbuatan pasti ada buahnya.[14] Kalau menurut Islam, buah perbuatan manusia akan dirasakan besuk di alam akhirat. Di situ manusia akan mendapatkan buah amalnya dengan sepenuh-penuhnya dan senyata-nyatanya. Adapun kebahagiaan atau penderitaan hidup di dunia itu bukan akibat perbuatan pada hidupnya yang lalu.

F.     Sistem Dakwah dalam Agama Buddha di Desa Kalirejo
Menurut Suntoro, penganut agama Buddha sekaligus ketua dari Vihara Bodhi Pundharika Kalirejo Undaan Kudus, bahwa agama Buddha sistem dakwah atau membabarkan ajarannya adalah disebut Dharma. Adapun yang dimaksud dengan Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran. Inti ajaran Buddha dirumuskan dalam “empat kebenaran yang Mulia” atau disebut dengan “catur arya satya” yaitu meliputi sebagai berikut:[15]
1.      Kebenaran tentang adanya Duka (Penderitaan Manusia), Dukkha dalam bahasa Pali (bahasa India Kuno) secara umum artinya adalah “penderitaan” atau “ketidakpuasan”. Harus diakui bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah duka. Seperti contoh: ketidaksempurnaan, sakit, ketidakabadian, ketidaknyamanan, maupun ketidakpuasan. Demikian dari contoh tersebut yang telah disebutkan oleh Suntoro. Dengan demikian tidak ada seorangpun yang dapat menyanggah bahwa hidup ini memang merupakan duka. Segala sesuatu akan terus berubah, bahkan terhadap hal-hal dalam kesenangan.
2.      Kebenaran tentang sebab duka, sumber dari duka adalah nafsu keinginan yang tiada habisnya dan ketidaktahuan. Oleh karena adanya ketidaktahuan inilah maka seseorang akan terus dan terus memupuk bernafsu pengalaman yang menyenangkan atau tidak, nafsu kepada benda-benda material keduniaan, nafsu akan hidup abadi, termasuk pula nafsu kematian abadi atau pemusnahan diri. Ketidaktahuan akan menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu memahami esensi dari hidup itu sendiri. Ketidaktahuan akan menutupi celah-celah bagi seseorang untuk bisa melihat realitas hidup ini. Oleh karena itu keinginan yang berlebihan atau keserakahan dan ketidaktahuan keduanya, akan menyebabkan seseorang terus berputar dalam penderitaan hidup.
3.      Kebenaan tentang lenyapnya duka, duka sebagai salah satu sifat sejati segala sesuatu yang berkondisi ternyata memiliki akhir. Proses terhentinya duka inilah yang dinamakan oleh umat Buddha sebagai Nirwana. Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa Nirwana itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan saat ini. Apabila demikian, maka itu bukanlah Nirwana menurut konsep Buddhisme. Beranggapan demikian hanya akan membuat pengertian tentang Nirwana tidak jauh berbeda dari pengertian Tuhan. Kita meyakini bahwa apa yang Buddha Gautama ajarkan adalah hal-hal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini juga. Sang Buddha tidak mengajar untuk kepentingan kehidupan setelah mati, tetapi ia mengajarkan untuk kepentingan kehidupan saat ini. Untuk itu sang Buddha sendiri telah mengartikan Nirwana sebagai lenyapnya keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).[16]
4.      Kebenaran tentang Jalan Berunsur Delapan Menuju Akhir Duka, sebagai solusi dari penderitaan yang dialami manusia, Buddha Gautama menawarkan sebuah jalan yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia. Jalan ini disebut sebagai Hasta Ariya Magha atau Jalan Mulia berunsur Delapan. Untuk itulah supaya seseorang tidak dilahirkan kembali, ia harus dapat mematahkan keserakahan pada dirinya. Yaitu dengan cara menempuh delapan jalan yang mulia, antara lain sebagai berikut:
1.    Kepercayaan yang benar
2.    Niat yang benar
3.    Perkataan yang benar
4.    Perbuatan yang benar
5.    Mata pencaharian yang benar
6.    Usaha yang benar
7.    Kesadaran yang benar
8.    Pikiran yang benar[17]
Setelah ia dapat mematahkan keserakahan dalam dirinya, dan telah mencapai kesucian yang sempurna, maka seseorang tersebut akan terbebas dari kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.[18]
Selain dari empat  kebenaran yang mulia di atas, ada ajaran tentang Sangha atau yang disebut juga Bikhsu. Ajaran tentang Sangha tersebut antara lain:[19]
1.      Kepala dicukur, ketika banyak orang ingin untuk mempunyai rambut yang bagus dan menghabiskan banyak uang dan waktu untuk menata rambutnya, tetapi para biksu atau biksuni Buddhis mencukur rambut mereka (gundul). Dengan demikian sangat mudah untuk mengenali para biksu atau biksuni Buddhis melalui kepala mereka yang tercukur sampai gundul.
2.      Mangkuk, berdana makanan kepada para biksu atau biksuni merupakan bagian dari praktik dan tradisi Buddhis. Di Asia Tenggara tidaklah jarang untuk melihat para biksu atau biksuni berjalan dari rumah ke rumah pagi-pagi sekali untuk menerima dana makanan. Karena para biksu atau biksuni tidak diperbolehkan untuk memilah-milah makanan yang mereka terima, mereka belajar untuk berterima kasih atas apa yang telah diberikan. Praktik ini berguna sebagai latihan mengurangi keserakahan dan mengembangkan rasa syukur (bagi para biksu dan biksuni), serta latihan memberi dengan ketulusan (bagi umat Buddha yang berdana).
3.      Jubah, pada awalnya para biksu atau biksuni hanya mempunyai tiga jubah. Ketika ajaran Buddha menyebar ke negara-negara yang lebih dingin seperti Cina dan Jepang, maka mereka membutuhkan lebih banyak lapisan untuk menjaga badan agar mereka tetap hangat. Jubahnya pun di desain lebih simpel dan terbuat dari kain katun atau linen. Warna dari jubah para biksu atau biksuni berbeda di masing-masing negara dan tergantung pula dari tradisi yang mereka anut. Sebagai contoh, di Sri Lanka dan Thailand jubah dengan warna kuning kecoklatan lebih sering dijumpai, sedangkan hitam dipakai di Jepang. Di Cina dan Korea, para biksu atau biksuni mengenakan jubah berwarna abu-abu dan coklat.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Agama Buddha masuk di Kudus adalah pada tahun 1960, sedangkan agama Buddha masuk di desa Kalirejo (babalan) yaitu pada tahun 1962. Pengikutnya yang berkisaran antara 200 orang sampai sekarang. Karena dulu begitu kurangnya pemahaman, seolah-olah bahwa agama Buddha tidak mempunyai Tuhan Yang Maha Esa. Nama Buddha berasal dari kata, Budh adalah “sinar” sedangkan dha yaitu mempunyai arti “padang”. Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan, dengan tidak mendapat wahyu dari Tuhan melainkan dari seorang guru.
Di dalam agama Buddha tidak ada ajaran tentang Tuhan, yang ada hanyalah manusia yang bisa menuju Nirwana. Pembawa ajarannya adalah Siddharta Gautama dengan kitabnya Tripitaka. sang Buddha sendiri telah mengartikan Nirwana sebagai lenyapnya keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).
Meskipun masyarakat Desa Kalirejo berbeda-beda dalam agamanya, namun selama ini tidak ada pertentangan terhadap agama selain yang diikutnya. Sikap saling toleransi pun juga terjalin dengan baik. Selama ini kehidupan para pengikut Buddha di Desa Kalirejo tidak pernah ada konflik dengan agama Islam maupun Kristen. Mereka sama-sama saling menghormati dan menghargainya.










DAFTAR PUSTAKA

Bpk. Suntoro, Wawancara, Desa Kalirejo Rt. 05 Rw. 06 Undaan Kudus, Pada Hari Minggu, 27 November 2016, Pukul: 09.59 WIB
Umar R. Soeroer, Menuju Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Harmoni, Vol II. Nomor VI, 2015, hlm. 128
Joesoep Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: Mutiara, 1993



















Lampiran-Lampiran
Ø  Dokumentasi
Gb. I                                                                     


  
                                      Gb. II


                                       Gb. III

                           Gb. IV

Gb. I
Ø  Vihara Bodhi Pundharika Kalirejo, adalah tempat ibadah umat Buddha di Desa Kalirejo Unddan Kudus
Gb. II
Ø  Patung Siddharta Gautama, simbol dari sembahyangnya umat Buddha. Terdapat air, api, bunga yang melambangkan kehidupan alam. Air dan api dalam agama Buddha haruslah dihormati. Sedangkan bunga melambangkan bahwa bunga itu bisa layu, begitupun juga manusia kelak pasti akan mati.
Gb. III
Ø  Wawancara dengan Bpk. Suntoro, warga desa Kalirejo Rt. 05 Rw. 06 penganut agama Buddha selaku kepala di Vihara Bodhi Pundharika Kalirejo Undaan Kudus.
Gb. IV
Ø  Ruang Bikhsu, juga terdapat beberapa kitab suci umat Buddha.



[1] Umar R. Soeroer, Menuju Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Harmoni, Vol II. Nomor VI, 2015, hlm. 128
[2] Bpk. Suntoro, Wawancara, Desa Kalirejo Rt. 05 Rw. 06 Undaan Kudus, Pada Hari Minggu, 27 November 2016, Pukul: 09.59 WIB
[3] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[4] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[5] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[6] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[7] Joesoep Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: Mutiara, 1993, hlm. 77
[8] Ibid, hlm. 73-74
[9] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[10] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[11] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[12] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[13] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[14] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[15] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[16] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[17] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[18] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro
[19] Hasil Wawancara dengan Bpk. Suntoro

1 komentar:

  1. Casinos Near Casinos | United States Gambling Sites
    List of Casinos 골인 벳 먹튀 Near Casinos and Gambling 포커 족보 Sites In the United States. List of Casinos That Accept PayPal. 벳365우회주소 Discover casinos with PayPal - Casinos 188bet Near Me. 포커 게임

    BalasHapus